Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menilik Film Tilik

film-tilik

Menilik Film Tilik—Bagaimana rasanya jika kita disuguhi tontonan yang ceritanya related dengan kehidupan sehari-hari di sekitar kita? Tentu saja kita seperti diajak bercermin melalui film. Ini yang saya rasakan sepanjang menyaksikan film Tilik.

Tilik adalah Cermin Kehidupan

Film berdurasi 32 menit ini adalah refleksi kehidupan masyarakat di sekitar kita. Obrolan sepanjang perjalanan dari Dlingo sampai PKU Gamping mempertunjukan bagaimana asyiknya dunia pergibahan. Kita sendiri pasti mahfum bahwa wanita, pergunjingan, dan sosok seperti Bu Tejo ini memang ada. Tokoh dalam cerita adalah potret orang-orang di sekitar kita. Mereka itu maujud, nyata ada. 

Siti Fauziah, Brilliana Desy, Angeline Rizky, Dyah Mulani, Lully Syahkisrani, Hardiansyah Yoga Pramata, Tri Sudarsono, Gotrek, Ratna Indriastuti, dan Stephanus Wahyu Gumilar berhasil memerankan film ini secara natural. Kita seolah tidak sedang menyaksikan sebuah film tetapi menyaksikan gambaran kita sendiri. Entah sebagai Bu Tejo, Yu Sam, atau mungkin Dian.

Keistimewaan Film Tilik: Tidak Ada yang Istiwewa 

Tidak ada yang istimewa dari film pendek ini. Film ini biasa saja. Tak banyak polesan. Namun, justru keluguan inilah yang menjadi daya tarik.

Ide cerita biasa. Soal tradisi tilik yang ada di sebuah kampung. Tradisi besuk atau menjenguk orang sakit. Di kampung saya tinggal, tradisi ini masih mengakar kuat. Masih banyak ibu-ibu yang rela berjubel di mobil bak besar ini. Real. Nyata. Memang ada.

Bukan karena ibu-ibu ini tak mampu membayar ongkos sewa mobil atau bus yang lebih manusiawi. Menggunakan truk atau jenis mobil bak terbuka lainnya dinilai menjadi angkutan paling "solutif" yang bisa memperat hubungan ibu-ibu satu kampung. Tua muda, kaya miskin sama. Sama-sama berdiri. Sama-sama berdempetan. Sungguh tujuan yang mulia bukan?

Yang kemudian menjadi masalah adalah kegiatan yang dilakukan selama perjalanan tilik ini. Gibah. Gosip. Ngerasani. Bagi para pelaku, tidak ada masalah dengan apa yang mereka lakukan. Mereka fun-fun saja. Seketika menjadi masalah adalah ketika kita menjadi objek gibah. ๐Ÿ˜…

Tidak. Ternyata masalah bukan hanya timbul tatkala kita menjadi onjek gibah. Menonton orang menggujing ternyata memicu konflik.

Lha kok njelehi tenan jebul!

Nah, ini poin. Bahwa gosip, gunjing, gibah, rerasan adalah hal yang njelehi. Menjijikan. Padahal kalau mau jujur, ada bibit-bibit Bu Tejo dalam diri kita masing-masing. Beda hanya pada kadarnya saja. 

Film Tilik adalah film yang minimalis. Tak banyak latar adegan yang ditampilkan. Perjalanan di sebuah bak truk, halaman rumah sakit, dan obrolan di dalam mobil. Sepanjang film diputar, tak ada musik pengiring sebagai penguat cerita atau pengantar klimaks. Setidaknya musik hanya terdengar dua kali, yakni ketika rombongan berhasil meninggalkan polisi dan di penghabisan cerita.

Tak seperti film horor dengan musik latar belakang yang kadang membuat kita berteriak seketika atau film romantis yang lagunya membuat adegan semakin sedap, film ini hanya menonjolkan dialog para tokohnya. Dialog-dialog dalam film ini berhasil menyihir penontonnya. Buktinya, usai menonton, dialog-dialog mereka masih terngiang di telinga.  

Tilik, Kritik dalam Guyonon yang Menggelitik

Tilik  adalah film yang mempunyai misi. Ia digarap bukan semata untuk menyenangkan penontonnya. Pantas rasanya jika Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemprov Daerah Istimewa Yogyakarta memilih proposal yang diajukan Wahyu Agung Prasetyo dkk ini untuk didanai. Film produksi Ravacana Films ini hadir dari keresahan dan kegelisahan atas apa yang terjadi di masyarakat. 

1. Kampanye Antihoaks

Hoaks, berita tidak benar, isu-isu yang belum terbukti, gampang sekali menyebar dengan kekuatan internet, terlebih media sosial. 

Mangkane, tha nduwe hape kuwi ora mung dinggo nggaya thok. Ning nggo golek informasi ngono lho, yo! 

Internet kui gaweanne wong pinter, rabakal kleru 

Dua cuplikan dialog tersebut menggambarkan kondisi kita saat ini. Maraknya hoaks di masyarakat sangat meresahkan. Kebanyakan masyarakat menganggap bahwa apa yang ada di internet itu sudah pasti benar. Mereka mengagung-agungkan internet. 

Padahal, setiap informasi yang ada perlu disaring dan dipilah-pilih sebelum dibagikan kepada orang lain. Terlebih, jika hal tersebut menyangkut sesorang yang kita kenal. Sebaiknya dilakukan klarifikasi. Namun, jangan berharap Bu Tejo akan melakukan klarifikasi pada Dian. Jangan pula berharap akan ada ending bahagia untuk mengklarifikasi apa yang Bu Tejo sampaikan. 

Sebagai penonton kita pastinya mengamini bahwa lambe sosok Bu Tejo ini memang perlu ditapuk. ๐Ÿ˜‚Dari kacamata moral, kita pasti mengiyakan bahwa kelakuan dan omongan-omongan Bu Tejo sungguh tidak terpuji. Sebagai penonton kita terpancing untuk emosi dan gregetan dengan kejulidan Bu Tejo.  Ini sudah cukup. Paling tidak, satu misi dari film ini tercapai.

Siti Fauziah memainkan perannya dengan sangat baik. Karakter Bu Tejo seakan kuat melekat.

2. Rendahnya Nilai Wanita di Tengah Masyarakat Patriaki

Di masyarakat kita, wanita menjadi sasaran empuk untuk dipersalahkan, pun oleh sesama wanita. Wanita nikah terlalu cepat, salah. Tidak segera menikah, salah. Cerai? Apalagi!

Menjadi wanita single di usia yang sudah matang pun menjadi umpan yang menggiurkan untuk bahan gosip. Begitulah mengapa akhirmya tokoh yang hanya muncul di akhir tayangan ini menjadi objek pembicaraan sepanjang perjalanan. 

Hal seperti ini patut diluruskan. Tilik sebagai sebuah film sudah melakukan perannya dengan baik. Dialog-dialog sederhana tapi ndelalah pas ini mengajak penontonnya berpikir, pantaskah Dian diperlakukan seperti itu?

Ending yang Menggemaskan

Bagi beberapa orang, mungkin ending film ini tidak sesolutip solusi Bu Tejo yang mengajak ibu-ibu ke Pasar Gede Beringharjo. Namun, bagi saja ini ending paling solutif.

film-tilik-bu-tejo

Di akhir cerita, tampak adegan Dian bersama pria yang pantas menjadi ayahnya. Mantan suami Bu Lurah. Laki-laki single. Apakah salah dua orang single saling jatuh cinta? Justru di sinilah Tilik ingin mengajak kita berpikir bahwa Dian adalah wanita yang merdeka. Ia dapat menentukan sikap di tengah budaya patriaki masyarakatnya. 

Tak ada yang salah dengan mencintai laki-laki yang usianya jauh di atasnya. Justru yang salah adalah masyarakat yang tidak bisa menerima cinta lintas generasi ini. (Mungkin) Inilah alasan Dian dan mantan suami Bu Lurah ini masih menyembunyikan hubungan mereka. Namun, ini hanyalah asumsi. 

Saya puas dengan cara sutradara yang sudah menutup cerita. Tak ada satu bagian pun dari perkataan Bu Tedjo yang bisa dibenarkan. Dian pun masih menjadi misteri. Tokoh Dian tak dibuka secara terang benderang. Justru inilah apiknya. Film ini justru ditutup tanpa menunjukan siapa yang benar dan siapa yang salah. Pada akhirnya, semua terserah bagaimana penonton menafsirkan cerita ini.

Selain sebagai media hiburan, film adalah media edukasi. Namun, tak selamanya pendidikan harus menunjukan bahwa yang salah harus mendapat masalah dan yang benar harus bahagia. Kita tak bisa menasihati hanya dengan petuah. Adakalanya, keresahan dan masalah menjadi sarana belajar. 

Penonton bukan hanya diajak menikmati hiburan, tetapi juga diajak menganalis permasalahan-permasalahan yang terjadi masyarakat lalu membentuk "cara dan pandangan baru" untuk menyikapinya. Saya sendiri setelah menonton film ini jadi berpikir, se-njelehi itukah saya kalau sedang ngerasani wong. 

Penutup

Interpretasi sekaligus internalisasi nilai-nilai yang didapat setiap orang setelah menonton film ini tentunya akan berbeda-beda. Semua tergantung latar belakang masing-masing individu. Namun, yang jelas Bu Tejo layak dicaci maki dan dicintai secara bersamaan.  


Susana Devi Anggasari
Susana Devi Anggasari Hai, saya Susana Devi. Mamak dari Duo Mahajeng, Mahajeng Kirana dan Mahajeng Kanaya. Untuk menjalin kerja sama, silakan hubungi saya.