Ketika Seruni Tak Sempat Berkembang: Potret Anak yang Terlambat Dilindungi
Seruni tampak setengah frustasi. Ia berusaha menenangkan bayi yang entah mengapa tangisnya tak bisa juga ia redakan dengan payudaranya yang masih setengah kering. Walau sudah seminggu pascamelahirkan, produksi ASI-nya masih belum juga melimpah. Sementara itu, ia tengah berjuang mati-matian meredakan amuk dalam dirinya.
Dalam penelitiannya, Kusuma melaporkan bahwa 3 dari 9 ibu yang hamil pada usia remaja mengalami dampak psikologis dan psikososial seperti malu, cemas dan takut, serta penyesalan. Nampaknya, itu yang sedang dialami Seruni hingga mempengaruhi produksi air susunya.
Ia sudah merasa gagal menjadi adik. Ia sadar sudah gagal membuat orang tuanya bangga. Sekarang, ia takut gagal menjadi ibu yang baik untuk anaknya. Di matanya, ia hanya coreng di muka keluarganya. Mimpinya hancur berantakan seperti bunga krisan yang luruh terkena hujan sebelum sempat semerbak.
Itu adalah sepenggal kisah Seruni saat usianya belum genap 18 tahun. Kini, anak yang dilahirkan sudah berusia 11 tahun. Namun nyatanya, penyesalan tak juga sirna.
Jalan Terjal Penuh Lubang
Saat itu tahun 2014, usia Seruni baru 17 tahun ketika kehamilan yang tak pernah ada di rencananya itu tiba-tiba datang. Di kampung kecil itu, kabar buruk tak perlu kaki. Tanpa perlu sambungan internet, kehamilannya sudah menjadi trendic topic yang dibicarakan di ruang dapur yang sekaligus merangkap ruang makan tiap-tiap keluarga.
Apalagi solusi yang ditawarkan selain pernikahan dini untuk masalah yang dihadapinya? Ia buntu dan tentunya tak punya banyak jalan untuk dipilih. Sudah kepalang, toh namanya juga sudah hancur. Melanjutkan sekolah baginya adalah jalan panjang yang hanya akan membuatnya semakin letih untuk disorot setiap hari. Baju putih abu-abunya terpaksa ia museumkan sebelum sempat usang. Ia lipat rapi dan masukkan ke lemari paling bawah, persis seperti mimpi-mimpinya.
Gerbang Pernikahan yang Tak Seindah Drama Korea
Awalnya, gadis yang dipaksa dewasa oleh keadaan itu mengira bahwa pernikahan adalah cara menutup aib menuju gerbang kehidupan yang lebih indah. Nyatanya, pernikahan dini justru menjadi pintu yang membawanya menuju satu masalah ke masalah berikutnya. Seperti lingkaran, tidak ada titik habisnya.
Setelah menikah. hari-harinya diisi dengan memasak, mencuci pakaian, dan menimang anak semata wayangnya. Rutinitas yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Di drama Korea, menikah dengan laki-laki yang dicintai selalu berhasil membuat pipi merona panas. Namun sayangnya, ini realita bukan drama Korea. Cinta saja tak cukup membuat kenyang. Token listrik tak mampu diisi dengan bujuk rayu dan pujian.
Purbowati dalam Jurnal Kependudukan Indonesia (2019) mengungkapkan perempuan yang menikah muda memutus rantai pendidikan mereka dan memintal rantai kemiskinan. Ia dan suaminya sama-sama tak punya ijazah yang cukup untuk membeli pekerjaan. Suaminya hanya bekerja serabutan. Semakin hari, beban hidup semakin terasa berat. Ia pun memilih jalan yang menurutnya paling rasional waktu itu, menjadi buruh migran di Malaysia. Harapannya sederhana, mengumpulkan uang dan menabung untuk modal hidup.
Sementara, Khoiriyah (2021) menambahkan bahwa perempuan yang menjadi pencari nafkah di luar negeri mengalami tekanan psikologis yang besar. Jarak dan komunikasi yang terbatas sering kali menimbulkan salah paham dan komunikasi buruk dengan pasangannya. Meskipun penelitian yang dilakukan Khoiriyah tersebut dilakukan di Madura, tetapi fenomena tersebut cukup mewakili kondisi tenaga migran Indonesia. Mereka harus menjadi penopang beban ekonomi keluarga. Mereka juga menanggung rasa sepi di tanah rantau, tanah tanpa sanak dan saudara.
Tekanan ekonomi juga jarak yang sering menyulut selisih paham membuat rumah tangga Seruni akhirnya kandas di usia pernikahan yang belum genap tiga tahun. Luar negeri sering kali menjadi cahaya terang menyilaukan yang membawa harapan baru. Namun, sering kali juga membuat banyak keluarga tercerai berai. Seperti yang diamini oleh Badan Pusat Statistik. Tercatat 18% perceraian di Indonesia dialami oleh keuarga yang salah satunya bekerja di luar negeri (BPS, 2023).
Andai Dulu Seruni Tahu Apa itu Aman
Narasi ini bukan kisah fiksi. Ini adalah sepenggal kisah nyata yang terjadi salah satu desa di Kabupaten Kendal. Kisah Seruni adalah potret nyata yang masih kerap terjadi di masyarakat kita. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2023), dari 9 anak perempuan di Indonesia, masih ada 1 yang menikah sebelum berusia 18 tahun. Di balik angka 1 yang seolah kecil, ada ribuan mimpi yang padam sebelum menyala, dan mimpi Seruni salah satunya.
Akar persoalannya sama. Seruni dan remaja-remaja Indonesia lainnya tumbuh tanpa pengetahuan seksualitas yang cukup. Mereka masih fakir ilmu tentang bagaimana mengenali batas diri dan cara menjaga tubuh.
Obrolan tentang seks dianggap tabu, disapu dan disimpan di bawah keset-keset rumah. Di sekolah, mata pelajaran Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan hanya berkutat pada senam. lari, lompat, dan kebugaran fisik lainnya. Jarang sekali menyentuh ranah mengenal tubuh dan bagaimana cara melindungi diri. Padahal, ini adalah pondasi yang seharusnya dibangun sedini mungkin. Anak seharunya diajari mengenal tubuhnya. Dia harus paham mana bagian tubuh yang boleh disentuh orang lain dan mana yang harus ditutup rapat-rapat, sekalipun itu adalah orang terdekat. Anak juga harus dibekali cara berkata tidak pada hal yang membuat ia tak merasa nyaman.
Menurut laporan yang terdapat dalam Hasil Survei Nasional Kesehatan Berbasis Sekolah di Indonesia (2015) sebanyak 5,26% pelajar di Indonesia pernah melakukan hubungan intim layaknya suami-istri. Bahkan yang lebih mengejutkan, sebanyak 0,78%—nya melakukan hubungan seksual saat usianya masih sebelas tahun atau kurang dari itu. Dari survei tersebut juga diketahui bahwa sebagian besar pelajar atau 49.73% tidak tahu cara mengatakan tidak saat diajak melakukan hubungan seksual pranikah. Bayangkan, di sebuah sekolah yang memiliki 100 siswa, 5 di antaranya sudah menjadi dewasa sebelum waktunya. Hampir separuhnya, tidak tahu bagaimana cara melindungi dirinya.
Hal senada juga dapat dilihat dari hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia: Kesehatan Reproduksi Remaja Tahun 2017, pada remaja berusia 15-14 tahun yang ada di Indonesia, 8% remaja laki-lakinya dan 2% remaja perempuan mengaku sudah pernah melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Alasan yang diberikan pun beragam, tetapi semua bermuara dari ketidaktahuan. Dari responden remaja perempuan yang ada, 54% mengaku melakukan hubungan seksual karena saling mencintai, 16% mengatakan itu terjadi begitu saja, 4% merasa ingin tahu, 16% dipaksa, 4% berharap menikah, 2% dipengaruhi temannya dan sisanya karena butuh uang.
Angka-angka tersebut bukanlah sekadar data statistik. Namun, ini adalah potret bagaimana remaja Indonesia tumbuh seperti rumput liar, dibiarkan tanpa pengawasan dan treatment khusus. Anak mendapat pengetahuan seksual bukan dari orang tua maupun guru. Namun, mereka membicarakan seks dari bisik-bisik teman, dari layar gawai, juga dari kisah pahit yang seharusnya bisa dicegah.
Padahal, tidak ada yang salah dengan rasa ingin tahu. Kesalahan paling dasar adalah membiarkan anak-anak ini mencari jawaban sendiri, tanpa bimbingan, pendampingan, apalagi pengetahuan dasar yang memadai.
Andai waktu itu Seruni paham apa itu aman. Bahwa aman bukan sekadar bebas dari bahaya atau gangguan. Aman adalah ruang di mana seorang anak tidak ragu berbicara dan mempertanyakan tubuhnya tanpa dicap cabul atau kurang ajar. Jika saja bisa memilih, Seruni tentu ingin lahir dan tumbuh di lingkungan yang mengenalkan kata aman. Bukan hanya sebagai kata sifat, tetapi tentang bagaimana cara hidup untuk tetap terlindungi.
Jika saja Seruni memiliki kamus yang menuntunnya memahami bahasa tubuhnya, paham batas wilayah yang seharusnya menjadi miliknya saja, dan tahu membedakan bentuk kasih sayang yang sehat; jalan hidupnya pasti tak seterjal ini.
Menanam Aman di Setiap Rumah dan Sekolah
Tahun 2015 Seruni gugur sebelum sempat menjadi bunga. Ia luruh dimakan rasa penasarannya sendiri. Namun di belahan bumi lain, Hana menjelma menjadi bunga indah yang mekar. Kelopak indahnya bukan hanya untuk dirinya. Namun, ia mengabdikan dirinya untuk menjaga bunga-bunga kecil lainnya agar tak bernasib seperti Seruni. Ia menjelma menjadi Kakak untuk setiap adik-adik di sekitarnya agar merasa aman dan bisa menjaga diri. Dengan gerakan "Kakak Aman"-nya, Hana menciptakan aman dari hal kecil yang bisa ia upayakan.
Hana Maulida adalah ASN di Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Kabupaten Serang. Laporan tentang kekerasan seksual pada anak sudah menjadi makanan pokok untuknya. Tentu saja, bagi seorang ibu yang memiliki dua anak yang masih kecil, berita-berita semacam ini menjadi momok yang menakutkan.
“Aku boleh saja sih hanya mendidik anakku sendiri,” ujar Hana Maulida ketika saya melakukan wawancara dengannya melalui pesan langsung di Istagram. “Tapi gimana dengan anak-anak lain yang tidak sempat dididik oleh orang tuanya? Mereka harus meminta tolong pada siapa kalau bukan pada kita-kita yang peduli? Selain itu, ke depan anak kita juga akan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Kalau kita cuma memproteksi anak sendiri tanpa memberikan kontribusi pada sekitar, sama saja kita membiarkan anak-anak lain tetap dalam bahaya.”
Sebuah alasan yang masuk akal. Anak kita tidak tinggal hanya di sepetak tanah. Mereka tumbuh dan bergerak. Maka, melindungi anak sendiri saja tidak cukup. Kita juga harus memastikan bahwa lingkungannya juga aman. Melindungi anak kita artinya juga melindungi anak-anak di sekitar anak kita.
Kegelisahan yang ia curahkan pada dua sahabat kembarnya, Nining Fatmawati dan Nining Fatimah, berbuah indah. Sebagai guru SD, Nining Fatimah tentu paham betapa seriusnya masalah yang dihadapi anak-anak ini.
“Kasusnya tinggi sekali, tapi kok seolah tidak ada gerakan masif untuk mencegahnya,” ujar Hana dalam wawancara. “Padahal data yang tercatat saja belum semuanya. Masih banyak yang tidak terdata.” Pernyataan ini tentu saja membuat hati semua ibu tergerak. Harus ada yang dilakukan.
Seperti gayung bersambut, lahirlah ide untuk mengedukasi anak-anak agar paham bagaimana melindungi diri, terutama dari kekerasan seksual. Mereka bertiga memantapkan diri membuat sebuah gerakan yang mereka beri nama Kakak Aman. Gerakan ini menyasar anak usia TK dan SD. Pada usia, pondasi pengetahuan sedang dibangun. Dengan membekali pendidikan sesual sejak dini, Hana berharap setiap anak tahu bagaimana menjaga dirinya tetap aman.
Kakak Aman Bekerja dengan Cara Nyaman untuk Anak
Kakak Aman memang lahir untuk anak-anak. Maka setiap kegiatan dirancang sesuai jalur yang paling dipahami anak-anak, yaitu bermain. Jangan bayangkan bahwa edukasi yang dilakukan Hana dan timnya seperti seminar atau pelatihan yang membosankan. Alih-alih demikian, Kakak Aman justru mengantarkan tawa dan tepuk tangan dengan bahasa yang mudah dipahami. “Kami memilih bahasa yang mudah dipahami, bukan istilah vulgar. Yang penting anak tahu maknanya, bukan takut menyebutnya,” ujar Hana. Edukasi pendidikan seksual diberikan melalui lagu, cerita, dan permainan yang menyenangkan.
Gerakan Kakan Aman bukan sekadar kampanye, melainkan juga sebuah sistem edukasi yang dirancang sedemikian rupa sehingga setiap anak bisa belajar atau diajari untuk menjaga dirinya. Saat ini Kakak Aman saat ini memiliki dua modul, yaitu Modul Edukasi Pencegahan Kekerasan Seksual dan Modul Pendidikan Seksual Komprehensif.
- Modul Edukasi Pencegahan Kekerasan Seksual
Modul ini diperuntukan bagi anak usia TK dan SD. Di dalamnya ada dua ha yang igin ditanamkan, yaitu (1) Tubuhku Milikku yang mengajarkan tentang bagian tubuh pribadi yang tidak boleh disentuh siap pun dan (2) Berani Mengatakan “Tidak”, Lari, dan Melapor yang mengajarkan bagaimana melindungi diri dari situasi berbahaya serta tahu kepada siapa harus meminta tolong.
Modul Edukasi Pencegahan Kekerasan Seksual bisa didapatkan secara gratis. Syaratnya pun cukup mudah. Kita hanya diminta mengikuti pertemuan maya Pembahasan Teknis Modul. Tentu kegiatan ini sangat bermanfaat untuk penyamaan persepsi dan modul digunakan sebagaimana mestinya.
- Modul Pendidikan Seksual Komprehensif
Modul ini tidak hanya berbicara tentang seks dalam makna yang sempit atau sekadar alat kelamin, tetapi juga bagaimana menghargai diri dan orang lain terhadap tubuhnya. Mereka dilatih mengenali perasaan tidak nyaman dan membedakan kasih sayang yang sehat dan kasih sayang yang merugikan.
Mari Bergerak, Mari Memberi Dampak
“Prinsipnya harus mudah, murah, dan menyenangkan,” kata Hana saat saya menyinggung rahasia keberlanjutan gerakannya. “Kalau bisa diterapkan oleh siapa saja tanpa alat rumit, maka pesan perlindungan ini akan hidup lebih lama.”
Prinsip sederhana itu yang menjadi ruh setiap modul yang mereka kembangkan. Materi disusun dengan bahasa yang mudah dimengerti dan dibisa diikuti oleh siapa pun, termasuk guru yang belum pernah mendapat pelatihan, orang tua yang tak punya banya waktu karena sibu bekerja, bahkan relawan baru yang sama sekali tidak mempunyai background pendidikan anak.
Selain itu, Hana dan timnya membuka akses modul ini secara terbuka dan gratis. Modul bisa diakses melalui Kakakaman.id. Siapa saja bisa mengunduh, mempelajari, lalu mempraktikkannya. Semakin banyak orang yang terlibat, semakin banyak orang yang menjaga, semakin banyak pula anak-anak yang aman. Akhirnya, tidak akan ada lagi anak yang nasibnya sama seperti Seruni.
Dalam wawancara saya besama Hana, peraih penghargaan SATU Indonesia Award 2024 ini menekankan bahwa keberhasilan gerakan bukan pada programnya, tetapi dari keberlanjutan dan keterlibatan banyak orang. Edukasi pendidikan seksual tidak boleh hanya berhenti di seminar atau kajian parenting. Namun, harus menjadi kebiasaan yang dibangun di rumah-rumah, di sekolah, dan di manapun ada anak yang selalu membutuhkan ruang aman.
Menjaga Aman Tetap Tumbuh
Hana paham betul bahwa sesuatu yang ditanam harus disiram dan senantiasa dipupuk. Mengedukasi anak-anak di sekolah satu kali saja tentu tak akan serta berhasil menciptakan ruang aman bagi anak-anak. Oleh karena itu, ia juga mengedukasi para guru dan orang tua.
"Selain mengedukasi anak-anak, kami juga memberikan edukasi kepada orang tua dan guru-guru," tutur Hana melalui pesan suara yang dikirimnya. "Tolong Bapak-Ibu selalu menyampaikan terus menerus ya Anak-anak butuh pengulangan. Tidak bisa hanya dengan satu kali kita memberi tahu mereka paham," tambahnya.
Hana paham bahwa dunia anak bukan dunia satu kali dengar langsung paham. Anak perlu pengulangan. Pengetahuan hanya akan menempel jika itu diulang dan dibiasakan. Kakak Aman bukan sekadar mengajar, tetapi juga membangun sebuah kebiasaan.
Kakak Aman berharap para guru dan orang tua ini kelak akan menjadi penjaga yang merawat dan menancapkan akar-akar kuat pada anak-anak. Guru dan orang tua yang semula bingung bagaimana menjelaskan pendidikan seksual pada anak kini justru semakin kreatif. Banyak dari mereka yang menciptakan lagu, permaianan, lembar kerja yang menarik dan mudah dimengerti anak.
Hana tak ingin Kakak Aman hanya menjadi gerakan yang dielukan sesaaat. Ia ingin banyak orang meniru aksinya. Hana percaya segala hal yang dibagi tak pernah habis. Justru ia yakin, sedikit yang ia bagikan ini akan tumbuh, berpindah tangan, dan bermekaran di tempat lain.
Iniah konsep aman yang ia bangun. Tidak melulu dengan pengeras suara atau hingar bingar pemberiaan, tapi membangun kebiasaan yang melebar dan menyebar.
Menjaga Nyawa Aman Saat Lelah Singgah
Bohong jika Hana tidak pernah lelah. Sebagai ibu, sebagai ASN, sebagai pempimpin gerakan bukanlah peran yang mudah dijalani dengan seimbang. Belum lagi, beratnya kenyataan bahwa masih banyak anak yang belum terlindungi. Namun, lelah itu sirna saat Hana mengingat ketulusan doa dan ucapan terima kasih orang-orang yang merasa terbantu oleh Kakak Aman.
“Rasa lelah itu pasti, tapi yang bikin tetap jalan adalah ketulusan orang-orang di dalam Kakak Aman dan para penerima manfaatnya. Kadang saya merasa apa yang saya lakukan ini kecil sekali, tapi ternyata tidak sederhana bagi mereka. Banyak yang merasa terbantu. Jadi, kalau capek ya istirahat sebentar, berhenti sejenak… lalu besok kita jalan lagi.”
Kakan aman bukan sekadar wadah gerakan. Kakak aman adalah ruang hidup yang menghidupkan. Setiap lelah karena langkahnya adalah nyala bagi anak-anak. Dan, doa-doa dari mereka yang terbantu seperti sumbu yang menjaga nyala.
Satukan Gerak, Terus Berdampak
Seruni mungkin layu sebelum berkembang. Namun, Hana menanam aman di setiap hati anak, di setiap rumah dan di setiap ruang kelas.
Ia tahu langkahnya tak besar. Namun, ia percaya langkah kecilnya dapat mencegah luka-luka baru. Gerakan Kakak Aman bukan sekadar kampanye. Menjaga satu anak artinya menjaga masa depan bangsa.
Melalu Kakak Aman, Hana dan teman-temannya membuktikan bahwa perubahan tidak selalu datang dari ruang besar atau panggung megah. Perubahan datang dari hati yang menolak diam dan terus bergerak.
Gerakan-gerakan yang mereka lakukan membawa kaki-kaki baru terus melangkah. Bukan hanya Hana dan dua sahabat kembarnya, tetapi 55 suka relawan, 50 guru aman, dan lebih dari 150 guru dan orang tua ikut bergerak. Mari bersama ciptakan aman untuk anak-anak kita. Satu anak merasa aman, masa depan Indonesia terjaga.
Salam
Rujukan
Kementerian Agama Republik Indonesia. (2022). Tren Pernikahan dan Perceraian di Indonesia 2017–2022. Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA). (2022). Analisis Dampak Pernikahan Anak Terhadap Kesejahteraan dan Ketahanan Keluarga. Jakarta: KemenPPPA RI
Khoiriyah, N. (2021). Dampak Peran Ganda Perempuan Pekerja Migran terhadap Kehidupan Keluarga di Madura. Jurnal Gender dan Pembangunan, 2(1). STIS Abu Zairi. Diakses pada 20 Oktober 2025, dari https://ejournal.stisabuzairi.ac.id
Kusuma, R. (2020). Dampak Psikologis dan Psikososial pada Remaja yang Mengalami Kehamilan di Usia Dini. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat
Maulida, Hana. (2024). Modul Edukasi Pencegahan Kekerasan Seksual. Serang: KakakAmanId
Nisa, K. (2021). Pengalaman Remaja Putri yang Menikah Dini di Yogyakarta: Studi fenomenologi. Jurnal Kesehatan Reproduksi, Universitas Aisyiyah Yogyakarta
Purbowati, D. (2019). Pernikahan Dini dan Kemiskinan Struktural di Indonesia. Jurnal Kependudukan Indonesia, LIPI
Susilowati, E. (2020). Pengaruh Jarak dan Komunikasi Terhadap Ketahanan Keluarga Pekerja Migran di Jawa Tengah. Jurnal Sosiologi Reflektif, 14(1), 65–82. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
UNICEF Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS), & Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (PUSKAPA) Universitas Indonesia. (2020). Pencegahan Perkawinan Anak: Percepatan yang Ttidak Bisa dDtunda [Laporan]. UNICEF Indonesia https://www.unicef.org/indonesia/media/2851/file/child-marriage-report-2020.pdf
#SatukanGerakTerusBerdampak #KitaSATUIndonesia #APA2025-ODOP
Posting Komentar untuk "Ketika Seruni Tak Sempat Berkembang: Potret Anak yang Terlambat Dilindungi"
Posting Komentar
Sugeng rawuh di susanadevi.com. Silakan tinggalkan jejak di sini. Semua jejak yang mengandung "kotoran" tidak akan ditampilkan ya!