Menjadi Guru dan Ibu: Perjalanan Menyeimbangkan Dua Dunia Tanpa Kehilangan Hati
Aku berdiri di depan kelas, menyulam kata-kata menjadi pelajaran yang bermakna. Suara-suara kecil itu mengisi ruang, tertawa, bertanya, dan sesekali menyentil kesabaran. Aku adalah guru bagi banyak kepala di kelas. Konon, profesi mulia, katanya.
Namun di balik suara-suara riang itu, ada sunyi yang menganga dalam dadaku. Ruang kosong yang menanti peluk anak-anakku sendiri. Mereka yang kucintai sepenuh hati, tapi sering kuabaikan karena energi sudah tergerus oleh beban hari-hari yang tiada henti. Aku memberi waktu untuk banyak hal. Namun, aku justru sering lupa memberi ruang yang cukup untuk mereka. Maafkan Ibuk, Nak—Kirana, Kanaya, Kinasih.
Dua Dunia yang Tak Pernah Seimbang
Menjadi guru adalah panggilan hati, sebuah pengabdian yang penuh makna dan tantangan. Aku kira menjadi guru adalah hal yang mudah. Namun, ada yang lupa dipelajari di bangku kuliah; bukan keterampilan pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional; kemampuan menyeimbangkan diri menjadi pendidik di sekolah dan madrasah pertama anak-anaknya.
Sebagai guru, setiap hari aku mengajar puluhan anak di sekolah, berganti dari kelas satu ke kelasnya. Memberi wawasan dan ilmu baru juga mengajari mereka cara bermimpi. Melihat binar mata mereka saat aku memasuki kelas adalah alasanku semangat berdiri di kelas. Sebagai ibu, aku memiliki Kirana, Kanaya, dan Kinasih. Tiga permata yang membuatku akan melakukan apa saja untuk mereka. tapi juga membesarkan anak sendiri di rumah. Dua dunia yang berjalan beriringan, tapi kerap kali terasa saling tarik menarik, seolah membenturkan dua sisi hati yang sama-sama butuh perhatian.
Aku bukan seorang superhero. Aku hanyalah seorang guru dan ibu yang belajar menyeimbangkan peran ini, kadang dengan langkah terhuyung, kadang dengan hati yang penuh luka dan tawa. Aku tahu dilema ini bukan hanya milikku, tapi milik banyak ibu guru lain yang menanggung nasib yang sama.
Menjadi guru berarti aku harus hadir dengan jiwa penuh untuk puluhan anak murid. Menjadi ibu berarti aku harus ada untuk anakku yang wajahnya kadang menampakkan kerinduan tanpa kata. Dilema itu selalu datang. Bagaimana menyeimbangkan hati yang harus membagi, di antara puluhan yang menuntut dan satu yang membutuhkan?
Anak Salah Seragam: Cerita Tentang Mandiri dan Rindu yang Terselip
Suatu pagi, aku menerima pesann Whatsapp dari ayahnya anak-anak.
Buk, Kanaya nangis. Dia salah seragam.
Pesannya singkat. Tapi momen itu seperti air bah yang menerjang dinding kuat pertahanan seorang ibu.
Kirana dan Kanaya emang sudah kupaksa mandiri sejak kecil. Urusan seragam dan buku sesuai jadwal sudah menjadi kewajiban masing-masing. Melihat ayah-ibunya seperti tentara yang bersiap ke medan perang setiap pagi, mereka tidak pernah protes harus mempersiakan kebutuhan mereka sendiri.
Aku tahu betul mereka sudah berusaha dengan sangat keras. Di saat banyak teman seusia mereka masih banyak yang disuapi, mereka mampu melakukan tugas mereka. Sementara aku, terjebak di antara dua dunia yang sama-sama menuntut.
Menatap Mata Kecil Itu dan Meraba Perasaan Sendiri
Ketika aku pulang, aku menatap matanya yang sembab. Kanaya bukan anak yang merepotkan. Namun, saat sudah menangis, ia akan sangat kesulitan menghentikannya. Ia tidak marah, ia juga sama sekali tidak merajuk. Justru itulah yang membuat perasaan bersalah menyelusup sangat dalam hingga membuat aku susah sekali bernapas.
Aku memeluknya dan dalam pelukan itu aku merasakan beban kami berdua: beban aku yang terlalu banyak tugas, dan beban dia yang berusaha tidak merepotkan.
Kesalahan seragam itu bukan sekadar kelalaian, tapi sebuah cerita tentang bagaimana kemandirian anak bisa menjadi bisu kalau tidak diimbangi dengan kehadiran penuh dari orang tua.
Kesadaran yang Menyentak
Akhir-akhir ini aku merasa sangat kelelahan. Namun, tak satupun pekerjaan tuntas. Pekerjaan sekolah masih menanti satu persatu untuk diselesaikan, sementara pekerjaan rumah menggunung tak habis-habis.
Lalu aku sadar, bahwa aku harus berhenti sejenak dan bertanya: Apa yang benar-benar dibutuhkan anak dan aku?
Rasanya aku harus menata ulang hidpku. Membereskan segala kekacauan yang memenuhi mereka. Anak-anakku bukan hanya butuh kebutuhannya terpenuhi. Mereka butuh aku yang utuh. Tempat mereka bisa pulang dan merasakan kehangatan juga perhatian.
Menemukan Ruang untuk Healing dalam Kesibukan
Sebagai guru dan ibu, aku sering lupa bahwa hati juga perlu disembuhkan. Aku terbiasa mengalihkan perhatian pada pekerjaan, mengubur rasa lelah, dan memaksa diri untuk terus berjalan.
Namun, aku belajar bahwa healing bukan kemewahan, tapi kebutuhan. Healing adalah jeda yang memberi energi baru, agar aku bisa hadir lebih baik untuk anak-anak di kelas dan di rumah. Bagaimana aku bisa memberikan yang terbaik jika aku saja merasa kurang?
Oleh karena itu, aku memang harus di sini. Bercengkrama dengan hati dan logika. Mengolah rasa dan jiwa. Ya ... aku harus kembali menghidupkan blog ini.
Cara-cara Kecil untuk Menyembuhkan dan Menguatkan
Yang paham betul rasanya menyeimbangkan dua dunia—mengajar di kelas, lalu pulang dan kembali ke rumah untuk terus belajar tentang sabar yang tumbuh di tengah riuh, tentang cinta yang tetap hangat meski letih menyapa, tentang hadir yang utuh meski pikiran terbagi—kalian tidak sendirian.
Jika kau seperti aku, yang kerap terjebak di antara tuntutan kerja dan panggilan hati, mungkin langkah-langkah kecil ini bisa jadi penolong.
1. Hadir Sepenuh Hati
Kita sering berkata “yang penting kualitas, bukan kuantitas,” tetapi waktu berkualitas tidak tumbuh sendiri. Ia harus disiapkan, dilindungi dari gangguan, dan dinikmati tanpa terburu-buru.
Matikan notifikasi ponsel. Tutup laptop. Tatap mata anak ketika ia bercerita. Rasakan suaranya, perhatikan gesturnya. Jangan buru-buru memberi saran, cukup dengar. Kadang mereka hanya ingin tahu bahwa kita mendengar, tapi kita sering lupa. Aku tahu, di dunia yang memburu kita, hal sederhana ini terasa sulit. Namun, percayalah bahwa kita aka bisa melakukannya!
Praktisnya: Tetapkan Golden 15 Minutes. Sediakan15 menit setiap hari di mana kita hadir 100% untuk mereka, tanpa multitasking. Waktu singkat ini sering meninggalkan hangat yang bertahan jauh lebih lama daripada satu jam yang setengah hati.
2. Izinkan Kesalahan Menjadi Guru
Hari ketika anakku salah memakai seragam adalah tamparan lembut bagiku. Ia menyiapkan segalanya sendiri dan ia salah memilih baju. Tapi di balik kesalahan itu, ada pelajaran berharga bagi kami. Kanaya belajar untuk berani mengakui dan mempertanggungkan kesalahan, aku belakar untuk tetap ingat bahwa segala hal harus kupastikan dan aku cek ulang.
Praktisnya: Daripada langsung memperbaiki atau memarahi, tanyakan: “Apa yang kamu pikirkan waktu memilih ini?” Gunakan kesalahan sebagai pintu percakapan, bukan ruang hukuman. Kesalahan menjadi batu pijakan, bukan batu sandungan.
3. Temui Dirimu Sendiri
Ibu yang lelah sulit memberi pelukan hangat. Guru yang letih sulit menebar senyum tulus. Kita perlu mengisi ulang diri. Maka, kembalilah ke ruang-ruang yang bisa membuatmu menjadi dirimu sendiri, tanpa tapi, tanpa topeng.
Praktisnya: Pilih satu aktivitas pengisi energi harian: menulis jurnal 5 menit, membaca satu halaman buku, berjalan sebentar di luar rumah. Kecil tapi konsisten lebih memulihkan daripada liburan besar yang jarang terjadi. Cobalah!
4. Minta Dukungan dengan Berani
Kita diajarkan untuk kuat, tidak merepotkan. Padahal, meminta bantuan bukan tanda lemah. Enggak apa-apa kok minta bantuan. Meminta bantuan adalah tanda kita cukup bijak untuk tahu kapan harus beristirahat dan paham batas kekuatan.
Praktisnya: Buat daftar kecil “jaring pengaman”. Mereka adalah orang-orang baik pasangan, keluarga, tetangga, atau sahabat yang bisa kamu andalkan dan siap mengulurkan tangan untukmu. Gunakan daftar ini ketika kewalahan. Dukungan yang tulus sering membawa kelegaan yang tak bisa diganti.
5. Bangun Rutinitas yang Menghangatkan
Rutinitas bukan sekadar urutan kegiatan, tapi jendela kecil yang membuat anak merasa aman. Rutinitas adalah kepingan puzlle yang akan sangat indah dimainkan dalam ingatan ketika mereka beranjak dewasa.
Praktisnya: Tak perlu kegiatan yang muluk-muluk. Mulai dari hal sederhana, antar-jemput anak, makan malam bersama, jalan keliling kampung setiap hari libur, atau mengerjakan pekerjaan rumah bersama. Ritual cinta ini akan dikenang anak jauh lebih lama daripada nilai rapornya.
Ada satu hal yang wajib kita pahami. Kita tidak akan pernah menjadi sempurna. Namun, kita bisa memberi usaha terbaik. Usaha terbaik ini dimulai dari cukup: cukup hadir, cukup tulus, dan cukup berusaha. Dan sering kali, ternyata cukup itu sudah lebih dari yang dibutuhkan anak-anak kita.
Merangkul Luka dan Merajut Harapan
Aku sadar bahwa sebagai ibu, aku hanyalah manusia biasa. Aku bukan sosok tanpa cacat, bukan pula pahlawan super yang selalu siap menyelamatkan. Aku hanyalah hati yang rapuh: penuh retakan yang terbentuk oleh perjalanan panjang, penuh luka yang kadang masih terasa nyeri ketika tersentuh, dan penuh rindu untuk disembuhkan.
Ada masa kecil yang sunyi. Ibu sering tak ada karena harus berjuang, ayah sibuk dengan caranya sendiri untuk bertahan hidup. Aku mengerti, mereka pun manusia yang membawa beban masing-masing. Tapi tetap saja, ada ruang kosong yang tumbuh di dalam hati kecilku, ruang yang tak selalu terisi oleh kata-kata atau pelukan.
Ketika aku menjadi ibu, ternyata aku membawa ruang kosong itu bersamaku. Ada tekad untuk tak membiarkan anakku merasakan hal yang sama, tapi juga ada ketakutan bahwa nyatanya aku justru mengulang luka itu. Aku yang mengharapkan orang tuaku hadir ternyata tak bisa cukup hadir untuk ana-anak-anakku.
Seperti pagi itu, ketika anakku berangkat sekolah dengan seragam yang salah, aku marah dan kesal. Aku tidak marah kenapa ia bisa keliru. Namun, aku marah dan jengkel terhadap diriku sendiri. Aku nyataknya belum sepenuhya hadir untuknya.
Setiap kali aku memeluk anak-anakku, aku merasa sedang memeluk dua orang sekaligus: anakku hari ini, dan diriku yang kecil dulu. Aku memberi pelukan yang dulu jarang kudapat. Aku membisikkan kata-kata yang dulu ingin sekali kudengar. Aku memberitahu diri sendiri bahwa luka itu nyata, tapi aku tidak harus mewariskannya.
Aku belajar bahwa menjadi ibu bukan berarti harus sempurna, melainkan berani menghadapi luka sambil terus mencintai. Karena luka yang diakui bisa menjadi jembatan yang menghubungkan masa lalu yang berat dengan masa depan yang lebih lembut.
Dan mungkin, inilah hadiah terbesar yang bisa kuberikan pada anak-anakku: seorang ibu yang mau sembuh, yang hadir dengan hati yang utuh meski pernah retak, yang menjadikan lukanya sebagai taman tempat anak-anaknya bisa tumbuh dengan aman.
Akhir Kata: Kita Tidak Sendiri
Aku menulis ini bukan sebagai guru yang sempurna, bukan juga ibu yang ideal, tapi sebagai perempuan yang terus berjuang agar bisa hadir sepenuhnya untuk muridku dan anakku.
Untuk kita yang berjalan di jalan ini, ingatlah: kita tidak sendiri. Ada banyak hati lain yang sama-sama terbelah dan berusaha menyeimbangkan dunia. Mari kita jaga diri, rawat hati, dan saling menguatkan.Salam,
Posting Komentar untuk "Menjadi Guru dan Ibu: Perjalanan Menyeimbangkan Dua Dunia Tanpa Kehilangan Hati"
Posting Komentar
Sugeng rawuh di susanadevi.com. Silakan tinggalkan jejak di sini. Semua jejak yang mengandung "kotoran" tidak akan ditampilkan ya!