Kembali Ngeblog: Menemukan Lagi Diri yang Hilang
Ada masa di mana aku merasa hari-hari hanya lewat seperti
jalan pulang yang kulalui setiap berangkat dan pulang kerja. Di atas motor,
melewati kampung, SBPBU, jalanan macet, juga pepohonan yang sama, tapi tak
pernah benar-benar melihatnya.
Jam melaju, hari berganti, tapi aku… seperti hilang di
tengahnya.
Seolah hidup ini hanyalah daftar tugas yang harus
dicentang—mengajar di sekolah, mengurus rumah, menemani anak belajar,
menghadiri rapat, menyiapkan makan malam—dan begitu seterusnya. Tidak ada jeda.
Tidak ada ruang untuk sekadar duduk diam dan mendengarkan suara hati sendiri.
Kadang, aku merasa ada yang kurang. Ada satu ruang dalam diriku yang rasanya
gelap dan pengap. Beberapa kali bahkan rasanya sangat sesak dan menyakitkan.
Dan aku ingat… dulu, ada satu hal yang bisa membuatku merasa
lega dan utuh: menulis.
Bukan sekadar merangkai kata, menulis adalah caraku menumpahkan
isi kepala yang terlalu berisik. Menulis adalah tempat aku membiarkan hati dan isi
otakku saling bercengkerama, menyeimbangkan rasa dan logika. Dan itu, hal yang
selalu berhasil membuatku utuh menjadi manusia.
Aku benar-benar merasa rindu masa itu. Masa ketika aku punya
tempat menjadi aku tanpa tapi. Kini aku ingin berusaha kembali. Bukan demi
pembaca, bukan demi angka, tapi demi diriku sendiri. Karena menulis… adalah
cara terbaikku membereskan semesta yang sering terasa berantakan.
Blog yang Pernah Jadi Rumah
Aku ingat betul kapan aku membangun rumah ini. Blog
SusanaDevi.com adalah hadiah dari suami paling istimewa. Bukan sekadar uang
untuk membayar domainnya, tapi soal kebebasan dan keleluasannya membiarkan aku
belajar dan bertumbuh.
Menjelang Agustus, Akhir Juli 2018 … waktu itu aku adalah ibu yang memilih menjadi ibu rumah tangga, menghabiskan sebagian besar waktu di rumah. Blog adalah jendela yang kubuka lebar-lebar agar isi kepalaku tidak berkarat. Memilih menjadi ibu yang bekerja di ranah domestik tentu saja tidak lantas membuat kita membungkam isi kepala, bukan?
Blog menjadi semacam buka harian online. Di sana aku menulis tentang keluarga, percakapan lucu
di dapur, tips sederhana yang kutemukan sendiri, juga ilmu-ilmu praktiks kebahasaan dari bangku kuliah. Tidak ada target pembaca,
tidak ada strategi SEO, apalagi sponsored post. Yang ada hanya semangat berbagi
dan rasa lega setiap kali menekan tombol "publish".
Menulis di blog rasanya seperti ngobrol di teras dengan teman lama yang selalu mau mendengarkan. Ada rasa hangat, ada rasa “aku punya ruang di dunia ini.”
Kadang aku menulis di malam hari, ketika rumah sudah sunyi. Ketika ide-ide di kepala bertubi-tubi datang. Sesekali menulis di pagi hari sambil menunggu cucian selesai diputar dan mengawasi Kirana dan Kanaya bermain. Semua terasa alami, tanpa beban, dan menenangkan.
Ketika Rumah Mulai Sepi
Tapi hidup, seperti biasa, punya caranya sendiri mengubah jalan cerita. Maret 2019 semesta memanggilku. Aku kembali mengajar. Pagi-pagi harus berangkat ke sekolah, sore hari mengurus anak dan segala keremongan rumah, malamnya kadang masih menyiapkan RPP atau menilai tugas siswa.
Awalnya aku masih berusaha menulis. Tapi perlahan, frekuensinya menurun. Blog mulai jarang diisi. Sampai akhirnya, aku hanya kembali ketika ada tawaran kerja sama. Tulisan-tulisanku berubah—bukan lagi sekadar cerita, tapi promosi produk.
Tidak salah memang. Tapi setiap kali membaca ulang, rasanya seperti melihat rumah yang dulu penuh warna kini hanya dibuka untuk acara tertentu. Selebihnya sepi, berdebu, pintunya jarang dibuka.
Aku mulai merindukan tulisan lamaku: jujur, sederhana, dan lahir dari hati. Aku juga sangat merindukan diriku yang utuh, yang menjadi aku tanpa banyak tapi.
Rindu yang Mengetuk Pintu
Belakangan, rindu itu makin kuat. Rindu menulis tanpa deadline dari orang lain. Rindu berbicara dengan hati dan nurani. Rindu mendengar suara-suara dalam kepala tanpa penghakiman. Rindu dengan jiwa yang waras.
Aku sadar, menulis di blog itu bukan sekadar hobi, tapi terapi. Saat aku menulis, aku sedang memproses hidup. Saat membaca ulang, aku sedang mengingatkan diriku sendiri: ada banyak hal kecil yang patut disyukuri. Ada banyak papan petunjuk agar melangkah lebh hati-hati.
Menulis Itu Pulang
Dunia sekarang bising sekali. Media sosial seperti pasar malam yang tak pernah tutup—penuh cahaya, penuh suara, tapi melelahkan. Semua berlari, semua ingin terlihat, semua ingin menang di lomba yang tak pernah kita daftarkan.
Blog berbeda. Ia tidak memintaku menata wajah atau menyusun kalimat demi algoritma. Ia tak keberatan jika aku menulis dengan rambut berantakan atau hati yang kusut. Blog adalah kursi kayu di teras rumah, tempat aku bisa duduk diam dan membiarkan kata-kata jatuh satu-satu seperti hujan sore yang menyirami tanah yang kerontang setelah seharian dipanggang matahari.
Sebagai seorang ibu yang bekerja, hidupku sering terasa seperti dua dunia yang saling berebut. Pagi berlari dari dapur ke pintu rumah, dari antar anak ke sekolah menuju kantor yang dindingnya penuh jadwal, target, dan aturan yang kadang terasa dibuat tanpa logika manusia. Ada rapat yang seharusnya singkat tapi berputar-putar tanpa arah. Ada sistem kerja yang lebih sibuk mengatur prosedur daripada memberi ruang bernapas. Ada bisik-bisik di lorong kantor—drama yang tidak pernah diakui tapi selalu hidup.
Bagi ibu yang memilih bekerja di bawah balutan seragam, pulang ke rumah bukan berarti selesai. Ia hanya sedang berganti shift: PR anak, tumpukan piring, baju yang minta dilipat, dan notifikasi WhatsApp kantor yang masih menyala seperti lampu kota. Di antara semua itu, aku kadang lupa rasanya duduk hanya untuk mendengar napas sendiri.
Menulis adalah jalan pulangku. Pulang ke ruang di kepalaku yang tidak diatur aplikas presensi, tidak dinilai performa, tidak terikat target. Di sana aku bebas membongkar lelah, menata ulang pikiran, mengingat siapa aku di luar semua seragam dan peran.
Menulis membuatku waras. Dan... waras, di tengah semua ini, adalah hadiah yang lebih berharga dari apa pun yang bisa kubeli dari gaji yang setiap bulannya masuk rekening.
Tidak Harus Sempurna untuk Kembali
Dulu aku pikir, kalau mau kembali ngeblog, aku harus punya banyak waktu, ide segar, dan energi penuh. Ternyata, jika aku menunggu semua itu, aku tidak akan pernah benar-benar kembali.
Akhirnya, aku mulai menyederhanakan semuanya, terutama caraku berpikir. Aku berhenti memikirkan “tulisan besar” dan mulai dari hal-hal kecil yang bisa kulakukan hari ini. Menulis di blog itu seperti duduk di teras rumah: tidak harus selalu rapi, yang penting tulus. Menulis apapun yang kualami, menggambarkan apapun yang kurasa, rasany adalah hal aling mudah yang bisa kulakukan untuk pulang.
Mari kita mula dari langkah awal: buka laptop, buka blog, tulis apa pun yang ingin keluar dari kepala, tanpa menunggu inspirasi besar. Tidak harus langsung indah, tidak harus langsung panjang, yang penting ada yang tertinggal di sini. Karena setiap cerita, sekecil apa pun, adalah jejak bahwa aku pernah benar-benar hadir di hidupku sendiri.
Kembali untuk Diri, Hadiah untuk Dunia
Keputusan untuk kembali ngeblog ini memang untukku: untuk memberi ruang bernapas, tempat pulang bagi kata-kata, dan cara sederhana memeluk diriku sendiri.
Tapi aku percaya, setiap cerita punya jalannya sendiri untuk menemukan pembacanya. Mungkin ada seorang ibu di luar sana yang merasa sendirian, lalu membaca tulisanku dan tiba-tiba merasa lebih kuat. Mungkin ada seorang guru yang sedang kehabisan ide pembelajaran, lalu terinspirasi oleh pengalamanku di kelas.
Kadang, menulis untuk diri sendiri menjadi jembatan tak terlihat: ceritaku menyentuh hati orang lain, lalu cerita mereka kembali menyentuhku. Dari sana, aku belajar bahwa healing bisa datang dari banyak arah, termasuk dari kisah orang lain yang singgah di hidup kita.
Menulis untuk diri sendiri ternyata bisa menjadi hadiah untuk orang lain, dan membaca cerita orang lain kadang adalah cara paling tulus untuk memeluk diri sendiri. Itulah bonus terindah dari sebuah cerita.
Langkah Kecil yang Kuterima
Aku tidak ingin kembali dengan beban besar. Aku memilih memulai dari komitmen yang sederhana: menulis di blog setidaknya sekali dalam seminggu. Tanpa aturan kaku soal tema, apalagi jumlah kata yang dikejar. Mari mulai membuat waktu khusus, meski hanya 20 menit di akhir menunggu presensi pulang usai ngajar atau 20 menit menjelang tidur.
Yang paling penting, aku mengizinkan diriku menulis dengan hati, bukan hanya untuk memenuhi target. Aku yakin, tulisan yang lahir dari hati akan menemukan jalannya sendiri, entah ke pembaca atau kembali memeluk penulisnya.
Penutup – Rumah yang Selalu Menunggu
Kalau kamu membaca ini dan merasakan hal yang sama: rindu menulis, rindu punya ruang bercerita yang tenang, mungkin ini saatnya kita kembali ke blog.
Kita tidak perlu menunggu segalanya sempurna. Tidak perlu menunggu banyak waktu, banyak pembaca, atau banyak alasan. Yang kita butuhkan hanyalah keberanian untuk memulai lagi, meski dari langkah yang kecil.
Karena di tengah hidup yang bising dan padat, menulis adalah cara kita pulang.
Dan blog… adalah rumahnya yang selalu menunggu, dengan pintu yang tak pernah benar-benar terkunci.
Salam,
Posting Komentar untuk "Kembali Ngeblog: Menemukan Lagi Diri yang Hilang"
Posting Komentar
Sugeng rawuh di susanadevi.com. Silakan tinggalkan jejak di sini. Semua jejak yang mengandung "kotoran" tidak akan ditampilkan ya!