Belajar dari Rumah: Menguatkan Pondasi Sebelum Anak Masuk Sekolah

Seorang ibu bermain dan belajar bersama dua anak kecil di rumah menggunakan balok kayu, menggambarkan pentingnya menguatkan pondasi sebelum anak masuk sekolah.

Beberapa waktu  yang lalu, sahabat saya curhat soal anaknya yang belum lancar membaca.

“Aku kepikiran banget. Anakku masih belum lancar baca. Padahal di sekolah yang pengen kutuju katanya, tes masuknya salah satunya baca tulis. Aku jadi cemas, takut dia nggak bisa.”

Saya yakin, keresahan ini bukan hanya miliknya. Banyak orang tua,terutama ibu, yang merasa galau saat menyadari anaknya belum bisa membaca, sementara sekolah favorit di luar sana seakan memberi “syarat tak tertulis” harus bisa calistung (baca, tulis, hitung).  

Seketika muncul rasa cemas “Kalau anak saya belum bisa baca, apakah dia akan ketinggalan? Apakah saya salah karena membiarkan ia lebih banyak bermain daripada belajar?”

Pertanyaan itu nyata dan ada. Dan jawaban untuk kegelisahan itu tidak pernah sesederhana “ya” atau “tidak.” Padahal setipa keluarga paham bahwa belajar selalu dimulai dari rumah, bahkan jauh sebelum ada kelas, kurikulum, atau meja belajar.

Kecemasan Orang Tua Zaman Sekarang

Beberapa tahun lalu, orang tua berlomba memasukkan anak ke sekolah negeri favorit. Ada kebanggaan tersendiri ketika anak berhasil lolos ke sekolah dengan label “unggulan”. Kini trennya berubah. Banyak orang tua justru lebih memilih sekolah swasta yang katanya punya nilai lebih dekat, ramah, atau sesuai nilai keluarga.

Namun, kalau kita akui ada pola yang tetap sama yang dialami para orang tua: kecemasan.

Cemas anak terlambat bisa baca.
Cemas anak ketinggalan dari teman-temannya.
Cemas kalau anak tidak “seperti anak orang lain”.

Saya paham kenapa banyak ibu merasa khawatir. Sekolah bagus biasanya memang memasang “standar masuk” yang tinggi. Tesnya baca-tulis, padahal yang mereka uji sebenarnya bukan sekadar bisa huruf, tapi siap atau tidaknya anak untuk duduk di kelas dengan ritme belajar tertentu. Masalahnya, banyak orang tua salah tafsir.

Yang diuji: kesiapan.
Yang dikejar: prestasi instan.
Akibatnya?

Anak dipaksa belajar hal yang otaknya belum siap menerima. Akhirnya yang terjadi hanya dua kemungkinan:

Anak bisa cepat baca, tapi kehilangan rasa suka belajar karena belajar identik dengan tekanan.
Anak belum bisa, lalu merasa dirinya "kurang pintar" sejak dini.

Dua-duanya tentu bukan hasil yang kita mau, kan? 

Belajar Bukan Soal Bangku dan Seragam

Kalau kita mau jujur, sekolah hanyalah salah satu bentuk institusi belajar. Anak sudah belajar jauh sebelum ia mengenal seragam, buku tulis, atau ujian. Ia belajar sejak bisa menatap mata ibunya, sejak bisa menggenggam jemari ayahnya, sejak bisa berjalan tertatih lalu jatuh, lalu bangkit lagi.

Rumah adalah sekolah pertama.

Orang tua adalah guru pertama.

Sebelum anak belajar berhitung, ia sudah belajar menunggu. Sebelum anak bisa membaca, ia sudah belajar mengenali ekspresi orang lain. Sebelum belajar IPA, anak sudah senang melihat pelangi muncul setelah hujan.

Sekolah bisa mengajarkan teori. Namun, rumahlah yang mengajarkan makna.

Pondasi yang Sering Terlupakan

Orang tua sering terjebak pada hasil akademis yang terlihat di kertas. Mereka bangga jika anak lancar membaca, menulis, atau berhitung secepat mungkin. Padahal, pondasi utama justru ada pada hal-hal sederhana: kebiasaan baik, karakter kuat, rasa ingin tahu, dan keterampilan sosial-emosional. Tanpa pondasi ini, ilmu setinggi apapun akan rapuh.

Pentingnya Pondasi Sebelum Akademik

Bisa membaca di usia 5 tahun memang terlihat keren, tapi yang lebih menentukan perjalanan anak ke depan bukan hanya “seberapa cepat ia bisa membaca,” melainkan beberapa hal berikut.

Rasa Ingin Tahu (Curiosity)

Anak yang selalu penasaran dan rajin bertanya lebih tahan lama semangat belajarnya.

Ketekunan dan Kegigihan (Persistence)

Kemauan mencoba lagi setelah gagal atau mengulang puzzle sulit adalah pondasi belajar seumur hidup.

Kemampuan Sosial dan Emosional

Anak yang bisa berbagi, menunggu giliran, dan mengendalikan emosi lebih siap masuk sekolah dibanding anak yang hanya bisa mengeja tapi mudah frustrasi.

Kemandirian

Bisa memakai sepatu sendiri, merapikan mainan, atau makan tanpa disuapi sangat menentukan kesiapan sekolah.

Kedekatan Emosional dengan Orang Tua

Anak yang merasa aman, diterima, dan dicintai akan lebih percaya diri menghadapi dunia luar.

Aktivitas Belajar Anak di Rumah

Belajar bukan hanya soal buku atau pelajaran formal. Di rumah, anak bisa belajar melalui kegiatan sehari-hari yang menyenangkan dan bermanfaat untuk perkembangan kognitif, sosial, dan motoriknya. Beberapa aktivitas yang bisa dilakukan antara lain sebagai berikut.

Ilustrasi aktivitas belajar anak dari rumah, termasuk membacakan buku cerita, eksperimen sederhana, bermain peran, melibatkan anak dalam aktivitas rumah, dan permainan tradisional.

Membacakan Buku Cerita

Anak yang sering dibacakan cerita akan memiliki kosakata lebih kaya, imajinasi tinggi, dan kedekatan emosional dengan orang tua. Tidak perlu memaksa anak mengeja; cukup bacakan dengan ekspresi hangat.

Bermain Peran (Role Play)

Bermain dokter-dokteran, jual-beli, atau guru-murid mengasah bahasa, empati, dan keterampilan sosial anak.

Eksperimen Sederhana

Contoh: mencampur air dengan gula, menanam kacang hijau, atau meniup balon. Anak belajar sains dasar: sebab-akibat, pengamatan, dan kesabaran.

Melibatkan Anak dalam Aktivitas Rumah

Mengupas bawang, melipat baju, atau menata meja. Aktivitas sederhana ini membentuk kemandirian dan keterampilan hidup.

Permainan Tradisional

Petak umpet, engklek, congklak, atau lompat tali. Selain melatih fisik, permainan ini menumbuhkan kebersamaan dan kecerdasan sosial.

Latihan Motorik Halus

Memegang pensil, menggunting kertas, atau meronce manik-manik. Panduan lengkap bisa dibaca di artikel Melatih Motorik Halus Anak.

Usia Dini Belajar: Tahapan dan Fokus Perkembangan Anak

Setiap anak tumbuh dengan ritme dan tahapan perkembangan yang unik. Pada usia dini, belajar bukan sekadar soal membaca, menulis, atau berhitung, tapi lebih pada mengenal dunia, membangun rasa ingin tahu, dan mengembangkan keterampilan sosial serta emosional. Memahami tahapan perkembangan ini membantu orang tua memberikan stimulasi yang tepat, sehingga anak belajar dengan senang, bukan terpaksa, dan pondasi untuk pembelajaran formal di sekolah pun menjadi lebih kuat.

Tahapan yang Harus Dihormati

Di dunia psikologi perkembangan, ada istilah yang sering dilupakan: readiness (kesiapan anak). Menurut Piaget, anak usia dini berada pada tahap pre-operational (2–7 tahun). Mereka masih berpikir simbolik, imajinatif, dan egosentris. Logika formal belum berkembang sempurna. Itu sebabnya, memaksa anak TK untuk membaca paragraf panjang sama artinya dengan menyuruh balita berlari maraton.

Lalu kapan sebenarnya anak siap membaca-menulis?

Penelitian di banyak negara menunjukkan usia ideal mulai 6–7 tahun, ketika area otak yang berkaitan dengan pemrosesan bahasa, fokus, dan memori sudah matang. Itulah mengapa di Finlandia yang konon katanya negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia,  anak baru belajar membaca formal saat masuk SD di usia 7 tahun.

Menariknya, meski mereka “telat” dibanding anak-anak Indonesia, pada usia 15 tahun kemampuan literasi mereka jauh melampaui. Kenapa? Karena fondasi mereka kuat, bukan sekadar mengeja huruf, tapi mencintai membaca.

Fokus Perkembangan Anak sesuai Usia

Setiap orang tua tentu ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya. Melihat anak tumbuh cerdas, pintar, dan berprestasi adalah kebanggaan yang luar biasa. Namun, dalam perjalanan itu, sering kali orang tua lupa bahwa setiap anak memiliki ritme dan kebutuhannya sendiri.

Usia Anak Fokus Perkembangan Aktivitas yang Disarankan di Rumah
0–2 tahun Sensorimotor: eksplorasi melalui pancaindra, ikatan emosional Bermain cilukba, meraba berbagai tekstur, mendengarkan lagu, pelukan dan kontak mata saat bicara
3–4 tahun Bahasa, imajinasi, kemandirian awal Membacakan cerita dengan ekspresi, bermain peran (dokter-dokteran, masak-masakan), latihan memilih baju sendiri
5–6 tahun Sosial-emosional & motorik halus Menggambar bebas, mencoba menulis nama sendiri, membantu pekerjaan rumah ringan (merapikan mainan, menata meja makan)
6–7 tahun Kesiapan membaca-menulis Mengenal huruf lewat permainan, membaca kata sederhana, berhitung dengan benda konkret (kelereng, buah, sendok)
7+ tahun Literasi formal & logika dasar Membaca buku sendiri, menulis cerita pendek, percobaan sains sederhana (misalnya es batu yang mencair, tanaman yang tumbuh)

Mengapa Banyak Orang Tua Buru-Buru?

Saya percaya, hampir tidak ada orang tua yang berniat salah dalam mendidik anak. Semua berawal dari cinta. Tapi sering kali, cinta itu terjebak dalam tekanan sosial, ekspektasi lingkungan, dan sistem pendidikan yang kurang berpihak pada perkembangan anak.

1. Tekanan Masuk SD Favorit

Di banyak kota besar, syarat masuk sekolah dasar favorit kerap disertai tes baca-tulis. Akhirnya, alih-alih menikmati masa TK untuk bermain dan bersosialisasi, anak dipacu menguasai calistung lebih cepat. Orang tua pun merasa tidak punya pilihan selain ikut-ikutan mengejar.

2. Perbandingan AntarOrang Tua

Coba perhatikan percakapan di grup WhatsApp orang tua murid. Ada saja yang dengan bangga menceritakan bahwa anaknya sudah bisa membaca buku setebal novel anak. Sekilas itu terlihat membanggakan, tapi tanpa sadar, cerita itu bisa menimbulkan tekanan bagi orang tua lain — seakan-akan kemampuan anak mereka kurang.

3. Kecemasan Masa Depan

“Kalau sekarang belum bisa, nanti tertinggal.” Pikiran itu menghantui banyak orang tua. Ketakutan akan masa depan membuat kita lupa bahwa anak-anak sedang menjalani masa kanak-kanak yang hanya sekali seumur hidup. Masa yang seharusnya dipenuhi tawa, rasa penasaran, dan imajinasi.

Padahal, anak yang dipaksa terlalu cepat bisa saja kehilangan kesempatan emas untuk menikmati dunianya. Kalau waktu mereka habis hanya untuk target akademik, kapan mereka punya ruang untuk bermain, berkhayal, dan merasakan hidup dengan kegembiraan yang murni?

Solusi Realistis

Lalu, bagaimana cara kita keluar dari lingkaran ini? Tidak mudah memang, tapi selalu ada jalan. Kuncinya terletak pada keberanian untuk berhenti sejenak, meninjau kembali pola yang kita jalani, dan mulai mengambil langkah kecil yang lebih sehat. Perubahan tidak harus besar dan drastis, cukup dimulai dari hal sederhana seperti menetapkan prioritas, melatih diri untuk berkata “cukup”, serta mencari dukungan dari orang-orang yang bisa memahami. Dengan begitu, perlahan tapi pasti, kita bisa memutus lingkaran lama dan membuka jalan menuju kehidupan yang lebih ringan dan bermakna.

1. Berani Melawan Arus

Tidak semua sekolah cocok untuk semua anak. Pilih sekolah yang memahami tahapan perkembangan anak, bukan sekadar menuntut ranking akademik. Ingat, sekolah yang baik adalah sekolah yang menerima anak sesuai usianya, bukan hanya yang menerima anak yang sudah “jadi”.

2. Bangun Komunikasi dengan Guru

Guru bukan lawan, tapi mitra. Sampaikan pada guru bahwa fokus keluarga Anda adalah perkembangan menyeluruh anak: kemandirian, karakter, dan rasa ingin tahu. Dengan begitu, guru tahu harapan Anda, dan anak pun mendapat dukungan yang sejalan antara rumah dan sekolah.

3. Kurangi Perbandingan

Setiap anak punya garis waktunya sendiri. Ada yang cepat bicara tapi lambat motorik, ada yang lambat membaca tapi luar biasa dalam menggambar atau bercerita. Menyandingkan anak kita dengan anak orang lain hanya akan merampas kebahagiaan, baik bagi kita maupun anak.

4. Fokus pada Pondasi

Nilai, adab, kemandirian, rasa ingin tahu justru jauh lebih penting daripada sekadar bisa membaca lebih cepat. Anak yang tumbuh dengan pondasi kuat akan lebih siap menghadapi pembelajaran formal ketika waktunya tiba.

Penutup: Kembali ke Rumah

Sore itu, Kanaya menunjukan segelas minuman yang berisi es. Ia menatapku polos lalu bertanya, “Ibu, ini minumannya kok jadi banyak dan rasanya udah enggak manis lagi? Apa karena esnya mencair? Kok es bisa mencair kenapa sih, Bu?”

Saya tersenyum. Pertanyaan sederhana itu mengingatkanku bahwa belajar tak selalu datang dari buku atau kelas. Kadang justru dari segelas es yang mencair, dari rasa ingin tahu yang tak pernah habis.

Dan di situlah saya makin yakin bahwa belajar bukan tentang soal siapa paling cepat bisa membaca atau berhitung. Belajar adalah perjalanan panjang yang dimulai dari rumah, dari rasa penasaran kecil yang dijaga dengan cinta dan ditumbuhkan dengan hal-hal yang dibiasakan. 

Jadi, tak perlu terburu-buru menyekolahkan anak hanya agar terlihat pintar di mata orang lain. Yang lebih penting adalah memberi mereka masa kecil yang utuh, bahagia, dan penuh makna, karena dari situlah pondasi hidup mereka akan tumbuh kuat.


Salam hangat, 

Tanda tangan Susana Devi yang digunakan sebagai identitas personal branding pada blog.


Susana Devi Anggasari
Susana Devi Anggasari Hai, saya Susana Devi. Mamak dari Duo Mahajeng, Mahajeng Kirana dan Mahajeng Kanaya. Untuk menjalin kerja sama, silakan hubungi saya.

Posting Komentar untuk "Belajar dari Rumah: Menguatkan Pondasi Sebelum Anak Masuk Sekolah"