Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hidup di Desa Harga Mati!

hidup-di-desa

Dulu saya dilahirkan di desa, pelosok malah. Untuk menuju rumah saya, kamu harus menyibak rimbunan karet yang seolah tak ada ujung. 😅 

Sekarang, saya juga tinggal di desa. Di kaki Gunung Ungaran. Pemandangannya? Jangan ditanya! 

Saya pernah merasakan dua tahunan tinggal di kota. Rasanya saya enggak cocok jadi orang kota. Bawaannya pengen kabur ke desa. Ada beberapa alasan mengapa saya lebih suka hidup di desa.

1. Adem dan Tentrem

Ini alasan utama hidup di desa lebih menyenangkan. Suasana di desa itu sejuk dan menentramkan. Tidak ada ingar bingar yang memusingkan kepala. Udaranya masih segar dan tidak panas. 

Siapa sih yang enggak suka melihat keindahan alam? Pulang dari kantor melepas penat lalu melihat hijau di mana-mana itu bukin ati nyes.

2. Biaya Hidup Murah

Nah, ini enaknya hidup di desa. Biaya hidup tak semahal di kota. Andai saja kamu tak punya uang, kamu bisa tuh belusukan ke kebun atau sawah orang untuk mencari tanaman untuk bahan makanan. Taruh misal, genjer. Genjer di sawah orang tuh halal buat dicabuti, sekalipun tak meminta izin pemilik sawah. 

Beneran? Iya beneran. Pada saat musim tanam, genjer itu akan dibinasakan. Wong bagi mereka itu termasuk gulma. Padahal, rasanya sedap betul.

3. Masyarakat Desa Lebih Ramah

Saya tuh orangnya perasa. Kalau lewat kagak ada yang negur rasanya bagaimana gitu. Tinggal di kota, satu komplek mah belum tentu kenal. Beda dengan tinggal di desa. Mau dari ujung ke ujung juga kenal.

Pernah ketika saya masih SMA. Karena angkotan menuju rumah langka, kami seringnya menunggu berjam-jam. Ada tempat ngetem buat nunggu angkutan atau minimal orang baik hati yang mau menumpangi kami.

Pernah lho, hari hampir magrib. Ada seorang laki-laki seusia bapak berhenti menawarkan tumpangan. Biasanya saya hanya mau menumpang pada orang yang saya kenal. Begitu melihat saya kebingungan, si Bapak menyebutkan nama bapak saya dan menyuruh saya untuk tak takut. Akhirnya, karena takut gelap maka ikutlah saya.

Dan ternyata benar, tak ada yang perlu dirisaukan. Si Bapak adalah teman bapak saya semasa kuliah. Rumahnya beberapa desa setelah desa saya. Di kota? Mana saya berani asal menumpang.🙈

4. Sering Kecipratan Rezeki

Orang desa tuh embuh. Mereka tuh jarang banget menjual hasil kebun yang memang bukan ditanam untuk dijual. Biasanya buah-buahan di depan rumah. Hampir setiap rumah di desa memiliki pohon buah. Nah, tiap pohon ini berbuah, pasti deh semua ikut ngerasain.

Kalau enggak, ketika mereka ada hajat misal lagi tahlilan. Ya pasti, minimal rumah depan, belakang, samping pasti dapet jatah makanan. Tabu bagi mereka pelit dengan tetangga. 

5. Enggak Khawatir Jemuran Kehujanan

Emak-emak pasti tahu rasanya bagaimana kesalnya setelah lelah mencuci dan menjemur, jemuran kehujanan karena lagi tidak di rumah. Kalau Kawan Suzan tinggal di desa, hal begitu tidak akan terjadi. Pasalnya, masyarakat desa itu paling tidak suka melihat tetangganya kesusahan. Mereka akan mengangkat jemuran tetangganya jika mereka tahu si pemilik jemuran tidak di rumah. 

Ketika hujan menyerbu, para ibu berteriak satu sama lain untuk mengingatkan jemuran. Pernah saya agak kepayahan mengakat jemuran yang waktu itu banyak banget karena beberapa hari tak mencuci, beberapa warga datang untuk membantu. Ya Allah, sungguh ini nikmat yang tak terkira. 😊

Saya sudan cinta mati sama hidup di desa. Wes ben ndeso, penting rezekine kaya orang kota.😅


Susana Devi Anggasari
Susana Devi Anggasari Hai, saya Susana Devi. Mamak dari Duo Mahajeng, Mahajeng Kirana dan Mahajeng Kanaya. Untuk menjalin kerja sama, silakan hubungi saya.