Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tuhan Tidak Menjadikanmu Kuat Seketika

tuhan-tidak-menjadikanmu-kuat-seketika


Kita yang sekarang adalah bentukan kita di masa lalu. Setuju?

Ya, saya tidak akan seperti ini tanpa tempaan hebat di masa lalu. Menjadi seorang anak yang merasa kurang disayangi membuat saya menjadi kekanak-kanakan dan haus kasih sayang. Sedikit tidak diperhatikan, saya akan ngambek pada suami. Parahnya, suami sendiri kadang tidak paham dengan sebab musabab kekesalan saya.

Dendam Masa Kecil

Semasa kecil, saya tidak akrab dengan pelukan ibu. Di kala teman sebaya berangkat sekolah dengan ditemani omelan ibu mereka, saya berangkat dalam keheningan. Bangun, mandi, juga menyiapkan baju sendiri. Jika nenek yang rumahnya tepat di samping rumah mengirimkan makanan, maka saya sarapan. Jika tidak, saya paling akan jajan bubur pecel yang dijual di depan sekolah. 

Semasa SMP, ada De Rom, tetangga yang diminta Ibu mengurusi rumah juga kami. Namun, ah. Tak perlu saya deskripsikan, pastinya kamu sudah paham bahwa pelukan orang lain tentu tak sehangat pelukan ibu sendiri.

Hidup saya biasanya saja. Tak ada kenakalan yang berarti. Pun ketika Bapak dan Ibu akhirnya memutuskan bercerai. Saya pun kadang tak menyangka bisa seperti ini. Namun, di balik semua yang tampak "baik-baik saja", ada luka yang menganga di dalam sana. Berkali saya mencoba menambal luka, akan ada robekan luka baru. Kegagalan rumah tangga orang tua seperti bayang-bayang yang menghantui. 

Untuk urusan keluarga, saya mempunyai standar yang terlalu tinggi. Suami harus memahami istrinya, walau tanpa aba-aba. Tentu saja ini menjadi racun yang teramat mematikan. Bagaimana mungkin saya tahu apa yang saya rasakan tanpa saya sendiri bilang padanya. Toh, dia manusia biasa. Pertengkaran demi pertengkaran kecil terjadi ibarat api yang siap meledakan bom. Suami sering gagal menerjemahkan kata "terserah" yang sering terlontar. 

Hingga pada titik sama-sama lelah, kami saling menyampaikan apa yang dimau. Bukan kami, saya tepatnya. Pak Taji benar-benar lelaki tersabar di dunia. Tanpa dia, mungkin pernikahan kami hanya bertahan dalam hitungan hari. Pada titik ini saya menyadari ada yang salah dengan saya. Saya tak bisa begini terus. Saya harus lebih baik. Saya tak bisa menuntut ini dan itu semau saya.

Sejak itu, suami mulai memahami bahwa kondisi istrinya tak sebaik yang dia kira. Ia berusaha menjadi partner yang baik. Ia menjadi telinga untuk mendengar. Ia menjadi dada untuk bersandar. 

Sisi baiknya adalah saya berusaha mati-matian agar anak saya tak merasakan apa yang saya rasakan. Saya melepas semua pekerjaan pada bulan ketujuh kehamilan Kirana. Jarak tempuh pekerjaan dari rumah membuat saya berpikir bahwa saya akan kehabisan banyak waktu. Berangkat saat matahari baru terbit, pulang menjelang matahari terbenam. Ah, saya tidak mau jika nanti anak saya tidak kenal dengan saya. Saya tidak mau jika anak saya lebih akrab dengan pengasuh mereka. Saya akhirnya memutuskan menjadi ibu rumah tangga. Ibu yang penuh waktu di rumah.

Masa Resign adalah Masa Terbaik Tuhan Mendidik

Bukan hal yang mudah menjalani hari-hari menjadi ibu rumahan. Rutinitas yang monoton juga ketidaksiapan mental akan beragam komentar mengenai status yang mereka sematkan. Masa ini saya jadi sering uring-uringan. 

Masa ini, kondisi keuangan juga masih sangat memprihatikan. Pak Taji, PNS yang baru diangkat, 70% gajinya sudah bukan menjadi hak milik. Suatu saat akan saya ceritakan betapa ngerinya riba. Maka, sebisa mungkin jangan pernah dekat-dekat!

Namun, sungguh saya beruntung. Tuhan membekali manusia kemampuan bertahan hidup yang luar biasa. Seorang Devi, yang masa kecilnya jarang melakukan pekerjaan rumah kecuali merapikan kamar tidur, dipaksa bertahan. Masa itu saya belajar membuat berbagai olahan makanan yang bisa dititipkan di kantin sekolah. hasilnya lumayan. Hingga semakin hari, kondisi keuangan sudah membaik.

Blog ini, susanadevi.com, adalah hasil dari resign. Jika saya tidak meninggalkan pekerjaan saya, mungkin saja saya tidak kenal aktivitas ini. Di sela-sela rutinitass yang saya jalani, suami saya paham bahwa saya harus punya kesibukan. Otak saya yang katanya selalu berputar tanpa henti harus diberi aktivitas agar tidak uring-uringan. Ia tahu saya suka menulis. Maka ketika saya menyampaikan keinginan untuk membangun blog, tanpa babibu ia langsung ACC.

Justru selama saya menjadi ibu rumahan, saya banyak belajar. Saya sadar bahwa rezeki Tuhan tidak terkira. Asalkan kita mau bergerak, Tuhan akan memberi rezeki yang datangnya entah dari mana. 

Selama saya menjadi ibu rumahan, saya belajar bahwa letak kebahagiaan bukan pada banyak harta. Sedikitpun jika disyukuri, maka berkah melimpah. Jarang saya dan suami bertengkar karena masalah uang. Padahal, pernah kami berada di fase benar-benar bingung besok mau makan apa. Pernah juga motor terpaksa dianggurin karena tak bisa membeli bensin. Ah, masa-masa itu benar-benar masa paling syahdu. Yang saya bingung, tak pernah kami mengeluh ketika tak punya sepeser pun uang. 

"Besok juga pasti dapet ganti!" begitu prinsip kami jika uang di dompet tinggal selembar dan harus digunakan untuk keperluan lain.

Panggilan Jiwa untuk Bekerja

Sebenarnya, saya sudah tak ingin lagi bekerja. Hingga pada suatu hari Pak Taji membicarakan tes CPNS. Kami cukup dalam berdiskusi hingga pada akhirnya saya mengikuti sarannya. Waktu itu saya sampaikan begini, "Saya akan mencoba. Namun, jika saya gagal, jangan pernah lagi minta saya untuk bekerja!"

Waktu itu, saya merasa bahwa ibu yang bekerja tidak bisa menjadi ibu seutuhnya. Luka di masa kecil itu masih membuat saya trauma untuk meniti karier. Obrolan dengan Pak Taji juga kelas di Ibu Profesional berhasil membuat pola pikir saya berubah hingga akhirnya mengantar saya sukses CPNS di tahun 2018.

Justru di saat saya tidak terlalu kepengen buat kerja dan tidak juga terlalu ngoyo untuk menjadi PNS, Allah memudahkan segalanya. Lulus dengan predikat P1/L tanpa saingan membuat saya seolah melaju di jalan tol. Allah mendengar doa ketika saya pamit dari SMKN 7 Semarang.

"Jika saya ditakdirkan menjadi guru, bagaimana pun caranya saya akan kembali mengajar, Bu!" begitu dulu saya menenangkan hati kecil yang berontak ketika banyak yang menyayangkan pilihan saya. 

Penutup

Saat ini, saya merasa beruntung. Apapun yang saya alami di masa kecil menjadikan diri saya seperti sekarang. Saya tak akan menjadi sekuat ini hanya dengan tempaan ala kadarnya.

Apapun yang sedang kau hadapi saat ini, jangan pernah menyalahkan keadaan apalagi Tuhan. Semakin dahsyat cobaan hidup yang kau terima, artinya Tuhan sedang menempamu menjadi lebih kuat dibanding orang lain. Suatu saat kamu pasti akan bersyukur pernah melewati semua cobaan hidup yang sudah Tuhan berikan.

Salam, 






Susana Devi Anggasari
Susana Devi Anggasari Hai, saya Susana Devi. Mamak dari Duo Mahajeng, Mahajeng Kirana dan Mahajeng Kanaya. Untuk menjalin kerja sama, silakan hubungi saya.