Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Riwu Ga: Mempertanyakan Kembali Makna Kemerdekaan

Monolog Radio Ibu

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Begitu yang termaktub dalam preambul Undang-Undang Dasar 1945. Pertanyaannya, sampai kapan kita berdiri di depan pintu gerbang kemerdekaan? Rasa-rasanya peringatan HUT RI hanyalah perayaan atau lebih tepatnya pengulangan euforia proklamasi belaka—yang semakin ke sini, gemanya semakin memudar.

Nyatanya, kemerdekaan memang belum sepenuhnya dirasakan semua kalangan. Masih banyak suara rakyat yang terbungkam. Lantang lalu menghilang. Pendidikan hanya ramah untuk rakyat kaya. Kemudahan mencari penghidupan yang layak masih menjadi angan bagi sebagian orang.

“Radio Ibu” mengisahkan lelaki tua, mantan orang terdekat Bung Karno. Ia adalah pelayan, pengawal, anak, sekaligus sahabat presiden pertama Republik Indonesia. Ia memang bukan orang penting atau orang yang kemudian dipentingkan. Namun, kisah-kisah yang ia ceritakan adalah catatan penting dalam sejarah Indonesia.

“Radio Ibu” mengisahkan lelaki tua, mantan orang terdekat Bung Karno. Ia adalah pelayan, pengawal, anak, sekaligus sahabat presiden pertama Republik Indonesia. Ia memang bukan orang penting atau orang yang kemudian dipentingkan. Namun, kisah-kisah yang ia ceritakan adalah catatan penting dalam sejarah Indonesia.

Monolog “Radio Ibu” semacam cermin untuk merefleksi kemerdekaan yang konon sudah kita peroleh sejak 1945 silam. Benarkah kita sudah merdeka? Atau kemerdekaan ini hanyalah sebatas deklarasi? Bahkan sampai di penghujung usianya, ia belum juga mendengar nasib baik menyapa Indonesia setelah kemerdekaan. Berita-berita yang di senantiasa lelaki tua itu dengar hanya mengisahkan tentang peperangan dan kematian. Bukan kabar yang ia tunggu-tunggu, tentunya.
Kita sudah merdeka
Kita sudah lama merdeka
Tapi saya, saya masih menunggu kabar
Menunggu kabar dari radio ibu
Kabar tentang hidup yang lebih baik sampai sekarang
Jangankan nasib baik Indonesia, nasib baik pun tak berpihak padanya. Sebagai orang marhaen yang sebenarnya cukup punya andil terhadap kemerdekaan, ia bahkan belum menyicipi manisnya hidup merdeka. Hidup menua sebagai petani di ladang jagung tentu bukanlah nasib baik untuk seseorang yang sangat berperan menyokong sosok Penyambung Lidah Rakyat tetap tegap berdiri dan lantang bersuara, pun di masa-masa sulitnya. Atau, memang itukah nasib yang ia pilih? Riwu memilih perannya sebagai tokoh pembantu—yang hanya mendukung cerita saja.

Kemewahan dalam Kesahajaan

Seperti sosok Riwu Ga yang bersahaja, sebenarnya, tak ada yang wah dari pementasan monolog ini. Cerita demi cerita dalam pementasan yang disutradarai Yustiansyah Lesmana dan Yosep Anggi Noen berjalan di atas jalan yang landai dan datar saja. Tak ada tebing curam atau tanjakan maut yang mampu meledak-ledakan emosi. Rasanya monolog ini nirklimaks. Namun, entah mengapa, cerita-cerita Riwu—tentang Soekarno, Inggit, Fatmawati, bahkan perjalanan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia—terpatri kuat, lebih kuat dari pada materi-materi pelajaran sejarah yang mati-matian saya hafalkan di bangku sekolah.

“Radio Ibu” terkesan indah tanpa banyak riasan dan polesan. Sebagai tokoh tua yang tinggal di ladang jagung, pementasan ini tidak membutuhkan tata rias, tata kostum, dan tata panggung yang neko-neko. Bahkan, tata musik sebagai gula-gula dalam drama pertunjukan pun tampak minimalis. Teknik pencahayaan juga tak banyak dimainkan. Namun, sekali lagi saya akui, Riwu berhasil menyihir. Terlebih ketika ia membawakan tarian ledo, tarian khas Sabu, Nusa Tenggara Timur. Gerak-gerak ritmis sederhana yang dibawakan serta lengkingan-lengkingan suara yang ia keluarkan semakin mengukuhkan Arswendy sebagai Riwu—laki-laki gagah dari Sabu.

Pemilihan Arswendy Bening Swara sebagai pelakon Riwu Ga saya rasa adalah pilihan tepat. Kepiawaiannya sebagai pemain watak mampu membius saya untuk menyimak 48 menit cerita-ceritanya tanpa sedikit pun beranjak. Teknik monolog bercerita yang dilakukannya juga cukup berhasil. Ia bukan hanya menghafalkan naskah yang harus ia bawakan. Namun, ia berhasil memberi ruh dalam ceritanya. Mendengar Wendy bercerita seolah mendengar Riwu Ga (sendiri) yang bercerita. Wendy bukan hanya melakonkan Riwu Ga, tetapi ia memasukan roh Riwu pada jasadnya. Tentu saja, kemampuan melakonkan dan story telling (bercerita) Arswendy perlu diacungi jempol.

Arswendy Bening Swara sangat pandai dalam menggambarkan detail di setiap cerita yang ia kisahkan. Awal mula mendapat radio dari Ibu, keadaan ketika ia diharuskan memilih Ibu dan Bapak, perjalanannya bertemu keluargo Bung Karno, kebiasaan yang ia lakukan, perjalanan Soekarno berpindah dari satu tempat ke tempat lain, juga rahasia-rahasia Soekarno yang ia sembunyikan dengan rapi. Segalanya ia ceritakan dengan detail, hingga hal-hal kecil yang akhirnya meninggalkan jejak tersendiri. Ada rasa dan emosi, tidak meluap-luap, tapi membekas.

Walaupun alur cerita yang digunakan melompat maju mundur tak membuat saya kehilangan peta plot. Cerita masih mudah untuk dibayangkan juga dipahami. Mungkin, ini juga dipengaruhi dengan pemilihan diksi yang sederhana. Akan menjadi lucu juga sih jika diksi yang digunakan terlalu banyak metafor. Walaupun tidak bodoh, Riwu Ga tetaplah seorang yang tidak mengenyam pendidikan.

Kelebihan pementasan ini bukan dibangun dengan hal-hal besar yang berusaha untuk ditonjolkan. Seperti tokoh utama yang dipilih, Riwu Ga. Buruh, pelayan, orang kecil yang mengabdi pada orang nomor satu di Republik ini. Perannya tak besar. Ia hanya menyiapkan air minum, membersihkan rumah, juga merapikan dan menyimpan rahasia-rahasia tuannya. Riwu hanya menceritakan potongan-potongan sejarah dari kaca mata seorang abdi. Cerita Riwu bisa jadi ibarat bumbu dalam sebuah masakan. Bukan bahan utama, tetapi jika kehadiran tidak ada, maka masakan tidak akan sedap. Sungguh, kejadian-kejadian kecil ia ceritakan adalah remahan-remahan yang justru sangat terasa “kriuk” untuk dinikmati.

Satu hal yang agak disayangkan dalam pementasan ini adalah pemilihan properti yang kurang pas. Mengapa harus buah jeruk. Entah mengapa bagi saya ini tampak lucu. Atau memang karena saya pernah setahun membumi dengan masyarakat Ende, Nusa Tenggara Timur. Jeruk terlalu mewah untuk orang tua yang memilih tinggal di ladang jagung pada tahun 1990-an. Apalagi jika untuk diperas, lalu hanya dinikmati sebagai minuman. Walaupun sebenarnya, bisa jadi itu memang disediakan untuk Wendy untuk mengurangi dahaga selama 40 menit lebih berbicara seorang diri di atas panggung, harusnya jeruk itu bisa disiasati untuk tak tampak atau memilih jamuan lain yang lebih menggambar latar cerita ini dibangun. Jeruk rasanya adalah pilihan kurang masuk akal. Sungguh, keadaan di Indonesia Timur sana tidak bisa disamakan dengan Jawa. Kemerdekaan—termasuk memilih kudapan untuk dimakan—belum merata. Sungguh, keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia nyatanya belum sampai ke seluruh penjuru nusantara. Namun, kelemahan ini tidak mengurangi kekaguman saya atas lakon ini.

Mampukah Karya Seni sebagai Jembatan Pengetahuan Sejarah?

Apa yang membosankan dari pelajaran Sejarah di sistem pendidikan kita? Bahwa ilmu sejarah adalah tentang mengingat dan menghafal. Lepas ujian, lenyap tak membekas. Tak terserap. Terlebih bagi orang-orang seperti saya, orang-orang yang sukar untuk mengingat dan menghafal.

Berbeda dengan pementasan monolog sebagai sebuah karya seni, saya justru lebih mengerti bagaimana perjalanan Soekarno hingga akhirnya memproklamasikan kemerdekaan RI. Saya akhirnya hafal di luar kepala bahwa Omi (Ratna Djoeami) dan Kartika adalah anak yang diangkat Inggit dan Soekarno. Tentu saja, saya tak serta-merta paham bahwa mereka berdua adalah anak angkat sang Proklamator. Sedikit banyak, saya tahu cerita Soekarno. Setahu saya, Soekarno dan Inggit tidak dikaruniai anak. Lantas, saya pun mencari tahu, siapakan Omi dan Kartika yang sering disebut oleh Riwu? Dan ternyata, proses pemerolehan informasi semacam ini lebih membekas.

Cerita tentang sejarah, mau tak mau memberi tambahan wawasan tentang sejarah. Saya rasa Felix K. Nesi sudah cukup baik dalam melakukan riset sebelum menulis naskah. Walau cerita tentang sejarah tidak bisa disamakan dengan cerita sejarah, saya rasa isi cerita monolog “Radio Ibu” tidak berseberangan dengan pengetahuan-pengetahuan sejarah yang sudah saya dapatkan sebelumnya.

Justru melalui pementasan ini, saya jadi memiliki bayangan nyata sosok Soekarno. Jika dalam buku-buku sejarah kita hanya dikenalkan dengan kehebatan diplomasi dan orasi yang dimilikinya, melalui karya ini saya memandang Soekarno sebagai manusia seutuhnya. Sosok yang memiliki kelebihan juga kelemahan. Sehebat apapun Soekarno di podium, ia tetaplah manusia biasa. Lelaki yang kalah oleh pesona wanita. Lelaki yang akhirnya melepas perempuan yang mengantarkannya ke depan gerbang kemerdekaan dan memilih gadis belia—Fatmawati—untuk memasuki pintu gerbang dan menikmati pesta pora kemerdekaan.

Riwu sebagai sentra pencerita menjadi orang yang sangat netral. Ia sangat menyayangi Inggit sebagai Ibu. Namun, ia juga tak lantas menutup mata bahwa Fatmawati adalah wanita yang sangat baik. Bahkan, di usianya yang jauh lebih muda, Fatmawati digambarkan sebagai wanita dewasa yang penuh pengertian. Ia membagi porsi Inggit dan Fatmawati sebagai wanita yang sama-sama pantas dan layak mendampingi Soekarno. Walaupun, pada akhirnya penonton pasti punya kecondongan sikap terhadap tokoh-tokoh yang diceritakan.

Inilah yang lantas menjadi nilai lebih bagi sebuah seni ketika mengenalkan sejarah atau memuat cerita tentang sejarah. Sejarah tidak lagi dipandang sebagai teks doktrin, tetapi dapat diinterprestasi masing-masing orang sesuai pengalaman hidup sekaligus daya tangkap yang dimiliki. Saya bisa menjadi sangat menghormati Inggit, perempuan yang paham akan makna kemerdekaan. Ia rela terbang asal hatinya merdeka dari nelangsanya dimadu. Saya pun bisa serta memilki hak untuk tidak suka dengan egoisme Soekarno yang justru hampir saja memenjarakan dua perempuan dalam satu ruang. Tentunya, terlepas dari jasa beliau untuk kemerdekaan Indonesia. Dan itu sah-sah saja. Tidak bisa dipersalahkan.

Riwu sebagai saksi sejarah yang bisu (atau memilih untuk membisu) adalah representasi pengabdian yang sesungguhnya. Dengan segala hal yang ia tahu, ia justru memilih mengasingkan diri dan menunggu kabar baik kemerdekaan. Ia tidak ikut serta merayakan gegap gempita pesta kemerdekaan. Ia hanya menunggu kabar baik kemerdekaan. Nasib yang (seharusnya) jauh lebih baik setelah lepas dari penjajah. Ia adalah hamba yang setia. Pun tak jua ada kabar baik, ia tetap mendengarkan radio ibu.

Salam, 



Susana Devi Anggasari
Susana Devi Anggasari Hai, saya Susana Devi. Mamak dari Duo Mahajeng, Mahajeng Kirana dan Mahajeng Kanaya. Untuk menjalin kerja sama, silakan hubungi saya.