Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Harus Ya Ngadain Pesta Pernikahan di Musim Pandemi?

pernikahan di masa pendemi

Saya tinggal di sebuah pedesaan yang jauh dari kota. Di sini, Korona seakan ada dan tiada. Percaya kepada Korona adalah musyrik. Kami yang mengenakan masker apabila keluar rumah dan menghindari kerumunan sementara waktu dibilang lebih takut pada Korona dibanding pada Allah.

Lha dipikir kalau situ ketemu harimau, situ bakal diem saja?

Sungguh, tak mudah menghadapi pandemi di kampung. Mereka lebih percaya sawan ketimbang virus. Mereka lebih percaya pak kyai dibanding dokter. Mengurung diri di rumah dianggap antisosial. 

Hal paling bikin tidak enak lagi adalah jika ada orang mantu, orang gelar hajatan. Tahu sendiri kan bagaimana guyupnya orang desa. Mantu adalah pesta rakyat. Semua orang asal masih satu kampung, tak peduli keluarga atau tidak, harus ikut merasakan kebahagiaan calon manten.

Tahu betapa rikuhnya saya ketika diminta ikut sambatan? Sambatan adalah tradisi gotong rayong untuk menyiapkan hajatan. Mau nolak, enggak enak. Diiyain, kok saya takut berkerumun. Belum lagi jika membayangkan sebagian besar perewang nanti pasti tidak memakai masker. Rasanya pengen pinjam pintu ke mana sajanya Doraemon. Menghilang tiba-tiba dan kembali saat pesta sudah usai.

“Lik, kok sudah berani nggelar pesta kawin?”

“Lha kan sudah new normal, lagian emol juga sudah dibuka. Masa ngajak orang makan gratis enggak boleh?”

Lhais! Belgedes sekali, bukan?

Lik, Pak De, Mbah, Para Sedulur … new normal tidak sama dengan kembali normal. Jika Mall kembali dibuka karena roda perekonomian harus tetap berputar, katanya.  Jika Mall terus ditutup, tuh anak atau ponakan kalian yang kebetulan jadi SPG atau tukang parkir bisa di-PHK. Bisa nyaho, kan?

Paling tidak, ada urgensi-nya mengapa mall sampai dibuka. Kalau menggelar pesta pernikahan apakah ada urgensi­-nya? Apa ruginya kalau hanya nikah di KUA saja. Bukankah nikah itu yang penting sah? Enggak dosa lagi kalau mau kawin dan pegang sembarangan.

Bayangkan berapa duit yang keluar untuk acara pesta pernikahan? Pesta kalau enggak wah juga ngisin-ngisini kan? Tenda pengantin, tukang rias, baju sarimbit, katering, cendera mata, dan tetek bengek lainnya tidak cukup menghabiskan uang satu atau dua juta saja. Biaya pesta pernikahan kalau dihitung-hitung bikin bengek beneran. Masa seperti ini, ketika uang Rp600.000 saja banyak yang rela mengantre kok ya demen banget dibuang dalam sehari-dua hari.

Daripada buat modal ngadain pesta kawinan, kasih saja buat modal anak dan mantu buat usaha. Setelah menikah, mereka memasuki hidup baru. Kerjaan belum mapan, rumah belum punya, minta orang tua juga sudah enggak pantes.

Lagian nih ya, ngadain hajatan tuh capai. Capai tenaga, capai pikiran, bahkan capai hati. Ada saya celah buat maido. Kok kateringnya enggak enak. Kok riasan pengantennya enggak mengklingi. Kok tendanya biasanya saja. Apa enggak rugi. Udah keluar banyak, masih saya jadi bahan gunjingan?

Kalau nih, kalau lho ini. Kalau setelah pesta bubar, justru terjadi cluster baru, yakin kuat menghadapinya? Sanggup dijadikan headline di media-media online yang beritanya kadang dilebih-lebihkan? Pesta itu kan tujuannya untuk menyenangkan banyak orang. Jika pada akhirnya membuat banyak orang susah, untuk apa?

Sudahlah, kesakralan pernikahan bukan pada pestanya. Toh dibuatkan pesta besar-besaran juga enggak menjamin kelanggengan rumah tangga. Manut dulu untuk tidak menggelar acara yang mengundang kerumunan. Bukankan umat beragama yang baik adalah yang taat pada pimpinannya?

Lha nikah cuma sekali, nanti enggak ada kenang-kenangan?

Aduh … duh … duh. Jangan seperti orang susah. Kalau cuma foto nikahan, gampang. Datang saja ke studio foto. Foto sampai puas. Enggak ada sepersepuluh persen dari anggaran pesta sudah sip. Kalau enggak mau repot, undang saja fotografer beserta tukang riasnya ke rumah. Sekarang apa saja bisa dipesan dari rumah. Sudah lumrah. Tidak perlu khawatir!

Saya malah yang khawatir. Saya khawatir jika unek-unek saja tidak sempat sampeyan baca. Lha enggak mungkin saya ngomong  langsung, bisa-bisa anak turun saya dikucilkan dari kampung. Moga-moga saja, sampeyan termasuk pembaca blog dan ndelalah baca tulisan ini.

Salam, 



Susana Devi Anggasari
Susana Devi Anggasari Hai, saya Susana Devi. Mamak dari Duo Mahajeng, Mahajeng Kirana dan Mahajeng Kanaya. Untuk menjalin kerja sama, silakan hubungi saya.