Jangan Labeli Anak "Broken Home"
Jangan labeli anak dengan keluarga yang orang tuanya memilih bercerai sebagai anak broken home. Sungguh itu jahat. Hati mereka sudah remuk, tak perlu direnyuk.
"Enggak heran dia nakal begitu. Bapak-ibunya pisah sejak dia kecil."
Apa yang salah dengan si anak? Jika memang bapak-ibunya bersalah, apakah lantas si anak berhak mendapat imbas? Bukankah tak ada dosa turunan?
Mereka tak bisa memilih terlahir dari rahim siapa. Mereka tak bisa meminta dilahirkan di keluarga seperti apa.
Hidup mereka sudah suram, tak perlu dipermuram dengan celoteh kita. Tak mudah menerima kenyataan bahwa mereka tak bisa merasakan yang orang lain bisa rasakan.
"Gimana enggak telat bangun. Teman-teman ada yang bangunin. Saya paling alarm HP. Itupun sering enggak denger!"
Mungkin begitu suara hati anak-anak yang dilabeli broken home. Mereka menjalani kerasnya hidup lebih awal dibanding teman-teman seusianya.
Ketika teman-teman seusianya masih dimanjakan dengan berbagai kemudahan, mereka harus menyiapkan segala sendiri. Ketika teman-teman seumurannya masih meminta pertimbangan orang tua, mereka berusaha memutuskan sendiri. Boro-boro meminta pertimbangan, mengutarakan apa yang mereka rasakan saya sulitnya minta ampun.
Perpisahan dalam rumah tangga biasanya mengandung drama tak berkesudahan. Tak banyak pasangan yang memilih mengakhiri biduk rumah tangga bisa saling legawa untuk berpisah baik-baik. Jikapun ada, saya yakin sangat sedikit jumlahnya.
Kadang pernah enggak sih berpikir kenapa anak-anak korban cerai ini suka berulah? Mereka sebenarnya anak baik. Hanya saja, mereka kurang perhatian. Makanya, mereka mencari perhatian dengan membuat masalah.
Justru harusnya ketika melihat mereka berulah, kita mengambil peran. Merangkul mereka dan memberi mereka perhatian.
Hati-hati. Jangan sampai justru memberi sunpah serapah. Bisa jadi umpatan yang kita lontarkan menjadi magnet yang menarik nasib buruk pada anak-anak kita. Toh, tidak berpisah pun sanngat berpotensi menciptakan anak broken.
Jangan dikira broken home hanya terjadi karena perceraian. Lihat kembali rumah kita. Sudahkan menjadi rumah yang nyaman untuk berpulang? Sudahkah anak-anak bebas menceritakan berbagai hal pada ayah ibunya? Sudahkah suami-istri mengkomunikasikan langkah yang akan dituju?
Jangan sampai kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak!
Salam,
7 komentar untuk "Jangan Labeli Anak "Broken Home""
Harusnya g boleh mikir kayak gitu ke anak korban perceraian org tua..
Itu hanya bkin mental anak makin hancur aja..
Mantap
Sugeng rawuh di susanadevi.com. Silakan tinggalkan jejak di sini. Semua jejak yang mengandung "kotoran" tidak akan ditampilkan ya!