Cita-cita (Tidak) Harus Berseragam
Apakah sebuah pekerjaan itu penting? Beberapa orang bekerja karena memang membutuhkan penghasilan untuk mencukupi hidupnya, sebagian lainnya bekerja hanya sebagai hobi, sebagian lainya menjadikan kerja sebagai identitas sosial.
Konon orang yang tidak menggunakan seragam dianggap pengangguran. Yakin begitu?
Banyak juga kok sekarang emak-emak berdaster yang isi dompetnya lebih tebel dibanding guru PNS bersertifikasi. Banyak pula bapak-bapak berkaos oblong yang mobilnya lebih bagus dari kepala dinas. Lalu, mengapa seragam lantas menjadi standar bahwa seseorang layak dihargai atau tidak?
Dulu ketika sekolah kita selalu dikenalkan dengan cita-cita guru, tentara, polisi, dokter dan berbagai profesi lain yang menggunakan seragam. Namun, kita tak dikenalkan dengan cita-cita pedagang, pengusaha, pelukis, penulis, pendongeng. Sepertinya, profesi yang tidak menggunakan seragam tidak layak disebut sebagai cita-ciata
Tak ayal, banyak dari mereka, orang-orang yang tidak memakai seragam, merasa minder bersama teman yang berseragam.
Tadi saya berkomunikasi salah seorang sahabat dekat. Kita ngobrol ngalor-ngidul. Dia menceritakan bahwa dia keluar dari salah satu grup yang kita ikuti. Saya enggak ngeh kalau ternyata dia sudah tak menjadi bagian grup. Ketika saya tanya mengapa, dia menjelaskan kalau dia merasa minder.
Sontak saya kaget mendengarnya. Saya tak menyangka bahwa dia akan mengatakan hal itu. Lalu, saya mengatakan mau apapun nasib masing-masing, tak menjadi benar jika lantas menjadikan nasib sebagai pembenaran. Mau jadi tukang sapu pun, saya tak akan malu bersahabat dengannya.
Mengapa harus minder dengan menjadi ibu rumah tangga? Ibu rumah tangga bukan "hanya". Profesi ibu rumah tangga itu mulia. Saya malah kadang merindukan masa-masa hanya memikirkan mau masak apa dan mau ngajak anak bermain apa. Sungguh ... merasakan menjadi ibu rumah tangga penuh waktu adalah kenikmatan tersendiri. Itulah mengapa masa-masa saya di rumah menjadi masa yang paling saya syukuri sepanjang hidup.
Berhenti menganggap bahwa seragam adalah penentu strata sosial. Kita sudah merdeka. Kita pun harus memerdekakan pikiran kita. Jangan terkungkung dengan standar yang dibuat banyak orang. Bukankah yang lazim belum tentu harus ditakzimi?
Ubah pola pikir. Kita bertanggung jawab mengubah cap yang melekat pada cita-cita anak. Bayangkan kalau semua anak ingin menjadi guru, tentara, polisi, dan dokter, siapa yang akan menjadi tukang sayur, penjual buah, penyanyi, dan penulis?
Cita-cita tidak melulu tentang mengejar profesi berseragam. Cita-cita terindah adalah melakukan hal terbaik yang bisa dilakukan, apapun bidangnya. Bukankah begitu?
Salam,
Posting Komentar untuk "Cita-cita (Tidak) Harus Berseragam"
Posting Komentar
Sugeng rawuh di susanadevi.com. Silakan tinggalkan jejak di sini. Semua jejak yang mengandung "kotoran" tidak akan ditampilkan ya!