Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Banteng

cerpen

Bulan ini di  Kampung Mandudala sedang ramai-ramainya. Selain perayaan kemerdekaan yang akan berlangsung,  bulan Agustus banyak kali  akan diadakan pemilihan kepala desa. Tak seperti kampung-kampung lainnya, pemilihan kepala desa di kampung ini terbilang cukup meriah. 

Sebelum penetapan calon kepala desa, diadakan seleksi terbuka untuk menentukan bakal calon kepala desa. Tiga orang dengan jumlah sumbangan terbanyak pada desa otomatis menjadi calon kepala desa. Para pemangku kampung ini percaya bahwa hanya orang kaya yang boleh menjadi kepala desa di kampung ini. 

"Jika lurahnya sudah kaya, ia tidak akan merusuh duit rakyatnya lagi," begitu kata Kek Romdhoni.

Setelah masa seleksi terbuka itu, terpilihlah Kang Kahar, Lik Tohirin, dan Pak Dhe Dhamhori. Ketiganya orang kaya dan ketiganya orang baik. Siapa pun yang terpilih tentu tak menjadi soal bagi kampung ini.

Setelah tiga orang ini terpilih jadi calon lurah, ditetapkan gambar yang mewakili masing-masing calon agar mudah diingat ketika kampanye dan pemungutan suara. Simbah-simbah sepuh yang tak cakap baca tulis tinggal menghapal gambar yang mewakili calon lurah pilihannya. Berdasarkan hasil rapat Komisi Pemilihan Lurah ditetapkan tiga lambang yang bisa digunakan, yakni banteng, kadal, dan kecoa. Dari hasil undian, Kang Kahar mendapat gambar banteng, Lek Tohirin mendapat gambar kadal, dan Pak De Dhamhori mendapat gambar kecoa.

Tarbani misuh-misuh. 

"Enggak lumrah, biasanya gambar buat pemilihan lurah itu ya ketela, jagung, kacang eh in pakai hewan-hewan segala!" protesnya setelah hasil undian dibacakan.

Komisi Pemilihan Lurah menjelaskan bahwa hal itu sudah disepaki secara bulat pada rapat bisa pleno. Tarbani tak bisa berbuat banyak.

Masa kampanye tiba. Di jalanan bukan hanya bendera merah putih yang dipasang. Tapi baliho-baliho besar digunakan untuk menampakkan wajah-wajah calon lurah. Spanduk warna-warni di pasang di sudut-sudut kampung. Bukan hanya wajah calon lurah, gambar yang mewakili pun berkibar gagah bersama bendera merah putih yang di pasang para warga untuk menyambut perayaan kemerdekaan.

Gambar banteng dengan warna dasar putih mewakili Kang Kahar. Gambar kadal dengan warna dasar merah mewakili Lek Tohirin. Gambar kecoa dengan warna dasar biru mewakili Pak De Dhomhori.

Tarbani sedang pulang dari sawah ketika memperhatikan spanduk dan bendera yang dipasang di sepanjang pematang sawah. Mulanya biasa saja, semakin lama semakin bergidik. Bulu halusnya berdiri. Ia mempercepat langkahnya agar segera sampai di rumah.

Dari atas langit tampak mata banteng yang menyala merah seakan ingin menerkam dirinya.  Banteng itu seakan sedang memasang kuda-kuda dan sewaktu-waktu bisa menyerangnya. Tarbani tunggang langgang dan menutup pintu rumahnya.

"Ada apa to Kang kok seperti dikejar anjing gila?" istrinya yang keheranan dengan sikap Tarbani menghampiri.

"Ambilkan minum, Bu!" perintah Tarbani yang segera dilaksanakan oleh istrinya.

Tarbani segera menghabiskan segelas air putih yang dibawakan istrinya. Ia mengelap dahinya yang basah oleh keringat. Mata banteng itu masih menghantuinya. Ia bergidik.

Bukan tanpa alasan ia begitu takut dengan banteng. Bapak Tarbani, satu-satunya orang tua yang dimiliki Tarbani karena ibunya tiada ketika melahirkannya tewas diseruduk banteng. Bapaknya juga beberapa orang di kampung adalah pemburu bayaran. Mereka akan berburu apa saja yang diminta asalkan bayaran yang diberikan pas. 

Waktu itu beberapa orang sudah melarang bapak Tarbani untuk berburu banteng. Selain karena keganasannya, banteng dipercaya sebagai hewan yang dilindungi di kampung ini. Alih-alih mendengarkan larangan, bapak Tarbani justru semakin tertantang untuk menaklukan banteng. Ia menitipkan Tarbani yang waktu itu masih berusia enam tahun pada Pak De Dhomhori yang masih terhitung kerabat.

Masih jelas diingatan Tarbani. Waktu itu menjelang magrib ketika kampung menjadi gaduh. Dari arah hutan bapak Tarbani lari tunggang langgang. Tubuhnya sudah luka di sana- sini. Di belakangnya seekor banteng hitam bermata merah mengejar. Banteng itu mengejar penuh amarah. Beberapa warga yang melihat pemandangan itu tak tinggal diam. Mereka mencoba menarik perhatian banteng itu dengan melemparinya dengan batu atau menyodokkan galah, tetapa nihil. Banteng itu sepertinya hanya mau berusaha dengan bapak Tarbani.  Ia terus mengejar. Tepat di depan Tarbani, banteng itu mendapatkan bapaknya. Tanpa ampun, banteng itu menyerukan kepalanya hingga bapaknya terlempar dua langkah di depannya. Sudah begitu, banteng itu kembali ke hutan. Tarbani berteriak memilukan, Pak De Dhomhori berusaha menenangkan. Bagaimana bisa tenang jika Tarbani menyadari bahwa orang tua satu-satunya itu berpamitan dengan cara yang menyedihkan.

Setelah kejadian itu, banyak warga berebut untuk merawat Tarbani. Merawat anak yang tak berbalas dan tak beribu konon membawa rezeki berlimpah. Setiap hari ada saja yang membawakan oleh-oleh untuk Tarbani, ada makanan beraneka rupa, jajan-jajan mahal yang hanya dilihat Tarbani ketika diajak ayahnya ke kota, bahkan mainan yang tak pernah dipikirkan Tarbani akan dimiliki. Namun, Tarbani menolak. Ia memilih tinggal di gubug peninggalan ayahnya. Segala macam kebutuhan seperti makan-makan ditanggung Pak De Dhamhori, tapi ia menolak untuk tinggal di sana. 

"Biarkan aku menjaga satu-satunya warisan bapak, Pak De!” begitu katanya ketika Pak De Dhom yang tak pernah tega membiarkan Tarbani kecil seorang diri.

Tarbani kecil beranjak dewasa dan menjadi pemberani, kecuali untuk satu hal: banteng. Ia menjadi sangat ketakutan dengan banteng, pun hanya gambarnya saja. Pernah suatu ketika ia membanting televisinya karena tidak sengaja ia melihat banteng di chanel Animal Planet. Memang begitu takutnya ia pada banteng hingga kadang menjadi tak waras.

Penderitaan Tarbani semakin menjadi ketika musim kampanye datang. Pemilihan lurah menjadi pesta demokrasi untuk warga Kampung Mandudala. Hari ini warga akan berpawai menggunakan atribut yang menunjukan keberpihakannya pada lurah yang mereka dukung. Tak ada lagi asas rahasia pada pemilihan lurah. Semua bebas menunjukan dukungannya. Perbedaan sama sekali tak menjadi soal. 

Tarbani tentu saja memilih Pak De Dhomhori. Lelaki itu adalah pengganti bapaknya setelah mati diseruduk banteng. Trimah, istrinya, jelas memilih Kang Kahar. Kang Kahar adalah kakak kedua Trimah. Semua itu tak menjadi soal bagi Tarbani, asal jangan pernah ada banteng di rumah ini, begitu Tarbani mengingatkan pada istrinya. Trimah pun paham akan hal itu 

Sore itu Tarbani sengaja pergi ke luar kampung demi menghindari puncak kampanye. Ia sebenarnya selalu suka dengan arak-arakan kampanye. Hanya di kampungnya, tak ada masalah dengan perbedaan pilihan, pun dalam satu keluarga. Sayangnya, kenapa harus banteng yang menjadi simbol calon lurah kali ini.

Tarbani pulang menjelang magrib. Ketika matahari sedang beranjak pamit ke peraduan. Betapa terkejut ketika ia membuka pintu. Seekor banteng besar bermata merah berada di dalam dapur rumahnya. Seketika tubuhnya gemetar dan keringat dingin membasahi tubuhnya. Ia berjalan mengendap-endap. Semakin mengendap ia semakin diawasi banteng besar itu.

Tarbani mencoba meraih pisau di ujung meja di seberang tempatnya berdiri. Ia berjalan menjijitkan kaki agar banteng tak merasa terusik. Tinggal selangkah lagi dan ia akan mendapatkan pisaunya. 

Tepat sebelum banteng itu menerkam ia sudah mendapatkan pisau. Ia hunuskan pisau membabi buta tepat di dada banteng. Sebuah teriakan tiba-tiba membuatnya tersadar.

"Sudah pulang, Kang?" Trimah bertanya sembari memegang dadanya yang berlumur darah.

Susana Devi Anggasari
Susana Devi Anggasari Hai, saya Susana Devi. Mamak dari Duo Mahajeng, Mahajeng Kirana dan Mahajeng Kanaya. Untuk menjalin kerja sama, silakan hubungi saya.