Pulang
"Mana mungkin?"
"Apa yang tak mungkin?"
"Ah ini tidak benar!"
"Apa yang salah?"
"Kamu tak seharusnya begini!"
"Aku tak pernah benar di hadapanmu."
"Bukan begitu!"
"Selalu begitu!"
Hening. Bahkan aku bisa mendengar suara napasmu. Berkali-kali kau
hela. Ini benar-benar tak mudah. Kamu sendiri pasti tak menyangka bahwa aku
akan memergokimu yang ternyata selalu membuntutiku. Bagaimana mana bisa?
Bukankah 20 tahun bukan waktu yang singkat untuk tetap bertahan pada cinta yang
tak mungkin bisa dipersatukan?
Ah, kali
ini aku yang merasa bersalah. Aku harusnya mengatakan bahwa aku tak lagi
mencintaimu. Kamu memang masih istimewa. Ada tempat khusus untukmu. Namun, aku
sudah memutuskan untuk menguncinya rapat-rapat dan tak akan membukanya lagi.
“Apa kau bahagia?” begitu tanyamu tiba-tiba.
Pertanyaan macam apa ini? Apa aku terlihat tidak bahagia?
“Tentu saja!”
“Jangan bohong!”
“Aku tak pernah bohong!” kataku sedikit
ketus.
“Kamu tak pernah pandai untuk berbohong,
Cinta!”
“Jangan panggil aku seperti itu lagi!”
“Itu namamu. Apakah aku salah? Atau harus
kutambahkan ‘Bu’, begitu Bu Cinta?”
Mendadak pipiku memerah. Iya, Cinta memang
namaku. Namun, gayamu melafalkan nama itu selalu membuat dadaku seperti mau meledak.
“Kukira membiarkanmu pergi akan membuatmu
bahagia.” Entah mengapa aku mendengar penyesalan yang teramat sangat.
“Apa kau pikir jika kita masih bersama aku
akan bahagia?”
Kamu tampak terkejut. Namun, kamu hanya
diam. Sesekali berdehem. Lalu hening. Kita sama-sama tak bersuara. Di kepala
kita masing-maisng banyak suara yang tak lagi bisa diutarakan.
“Mengapa kamu masih di sini?” Ah,
pertanyaan macam ini.
“Menjagamu.”
“Aku tak perlu kau jaga.”
“Aku yang butuh. Bukankah aku harus
menepati janjiku?”
“Janji apa?”
“Janji untuk membuatmu selalu tersenyum.”
Aku tersipu. Setelah dua puluh tahun
lamanya, ia tak juga lupa bagaimana caranya membuatku tersipu.
“Lupakan! Aku sudah tak mengingat janji
itu.”
“Aku tak bisa menjilat ludah yang sudah
kukeluarkan, bukan?”
“Terserah!”
“Katakan maumu?”
“Aku tak mau apa-apa?”
“Bohong. Jika kamu bilang ‘terserah’, itu
artinya kamu ingin meminta sesuatu tapi tak sanggup mengatakannya.”
“Sok tahu!”
“Aku tahu. Aku bahkan mengenalmu lebih
dari kamu mengenal dirimu sendiri.”
Aku tak bisa membantah. Memang begitu
adanya. Tiba-tiba pria yang kutunggu sudah datang.
“Mari kita pulang, Bu! Aku sudah selesai.”
Aku melempar senyum ke arahnya,
mengangguk, dan segera berdiri.
“Ayo, Nak! Oh iya, salim dulu sama Om. Dia
teman Bubu ketika masih kuliah.”
“Hai, Om. Saya Pradipta.”
“Oh, iya. Pradipta. Nama yang indah. Saya dulu
juga ingin punya anak bernama … Pradipta,” ucapmu terbata sembari membalas
uluran tangan anakku. Aku tahu bahwa kamu tak menyangka bahwa ada matamu di
mata anakku.
“Aku pulang dulu. Pulanglah!”
Posting Komentar untuk "Pulang"
Posting Komentar
Sugeng rawuh di susanadevi.com. Silakan tinggalkan jejak di sini. Semua jejak yang mengandung "kotoran" tidak akan ditampilkan ya!