Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Potret Hitam Putih: Sebuah Cerita Di Halaman Belakang

ulasan-film-halaman-belakang

Bagaimana Kawan Suzan memaknai hitam putih dan keheningan? Apakah perpaduan keduanya menggambarkan kesedihan, kemurungan, sekaligus keprihatian? Jika memang begitu, agaknya ini yang diharapkan oleh Yusuf Radjamuda dalam film pendeknya, Halaman Belakang. Sepanjang 11 menit 37 detik, rangkaian adegan demi adegan disajikan dengan nuansa hitam putih dan tanpa musik latar belakang sebagaimana lazimnya sebuah film.

Tidak mudah memang memahami film ini. Pasalnya, film ini sangat minim dialog. Melihat film ini sepintas lalu tentu tidak akan membuat kita mampu menangkap pesan yang hendak disampaikan. 

Adegan dibuka dengan sangat apik dengan gelembung-gelembung sabun mainan yang berterbangan di balik jendela. Namun, setelah itu film ini tampak sunyi. Suara dentingan kaleng bekas yang menggantung, perabot yang terlempar, pintu yang dibanting, dan deru kenalpot cukup membuat penasaran. Namun, ada fase di film ini yang membuat waktu seolah berhenti. Mungkin di bagian ini alur memang sengaja diperlambat untuk mempertajam suasana yang dibangun. Namun, hal ini bisa saja gagal. Penonton bisa saja justru mempercepat lini waktu film untuk segera menemukan jawaban.

Adegan dalam film ini seperti potongan-potangan puzzle yang butuh dipecahkan. Ada rasa penasaran dan gregetan mengapa tak ada dialog atau adegan yang berarti selain seorang bocah yang sibuk bermain sendiri dan seorang ibu yang berlalu lalang melakukan aktivitas rumahnya. Tanda tanya besar mulai terjawab ketika si ibu merebut paksa bedak yang sedang dimainkan si anak dan memberinya gayung berisi air untuk menyiram tanpa dialog. Kesunyian dan keheningan inilah yang ingin dibangun Yusuf. 

Yusuf ingin mengajak penonton merasakan bagaimana sepinya hari-hari juga hati si anak laki-laki ini. Tak salah jika akhirnya anak ini tak lagi peduli dengan apapun yang terjadi di sekitarnya. Si anak bisa sedemikian tak acuh dengan apapun yang terjadi di rumahnya karena ia sering tak dihiraukan. Ia dibiarkan sibuk bermain sendiri. Tak peduli apa yang dimainkan. Si ibu bahkan tak menegur dan memperingatkan si anak dengan beberapa mainan yang berbahaya seperti pistol angin dan ketapel. 

Tak salah jika nuansa monokrom dipilih untuk penggambaran film ini. Warna hitam dan putih semakin mempertegas kemuraman yang dirasakan si anak. Efek angin dengan berbagai sudut pengambilan gambar juga memberi keheningan dalam film ini. Walaupun tak banyak berekspresi, si anak berhasil membawakan perannya dengan penuh penjiwaan. 

Fim ini ditutup dengan sangat mengejutkan. Setelah si Anak melempar ketapelnya ke arah ibunya yang sedang menyapu, ibunya tak lagi terdengar masih menyapu. Si Ibu juga tak kembali ke dalam rumah. Si Anak hanya tampak menunggu di jendela sembari memainkan piano mainan.  Suara instrumen dari mainannya membuat film ini semakin getir. 

Menurut saya, ada kelalaian yang cukup fatal dalam film ini. Pemilihan setting. Meskipun menampilkan adegan-adegan kegiatan yang umumnya dilakukan di halaman belakang-seperti mencuci baju, menjemur pakaian, juga menyapu halaman-, setting tempat yang dipilih belum cukup kuat mengambarkan sebuah halaman belakang. Setting tersebut justru tampak seperti teras yang dipaksa menjadi halaman belakang. Buktinya, dinding kaca di sebelah pintu adalah ciri pintu depan rumah-rumah petak. Motor yang diparkir di depan pintu juga tampak menunjukan bahwa itu belum seperti halaman belakang.

Jika kamu mencari hiburan, ini bukan film yang bisa jadi pilihan. Namun, jika kamu mencari film yang sarat pesan, film ini layak kamu tonton!

Salam,

susana-devi



 



Susana Devi Anggasari
Susana Devi Anggasari Hai, saya Susana Devi. Mamak dari Duo Mahajeng, Mahajeng Kirana dan Mahajeng Kanaya. Untuk menjalin kerja sama, silakan hubungi saya.