Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Istirahatlah Kata-Kata[Sebuah Pengingat: Kita Belum Merdeka]


istirahatlah-kata-kata-wiji-thukul



Istirahatlah Kata-Kata, Ajakan Berdialog Tanpa Dialog

Mendengar Wiji Thukul tentu kita akan membayangkan sesosok aktivis kritis yang mungkin terlihat anarkis. Namun, hal semacam itu ternyata tidak akan kita temui dalam film Istirahatlah Kata-Kata. Film yang diangkat dari sepenggal kisah penyair dengan nama asli Widji Widodo sama sekali tidak mengangkat hingar bingar kehidupan aktivitas pembela HAM. Seperti judulnya, Istirahatlah Kata-Kata justru mengajak kita berhenti sebentar dari hiruk pikuk, ngaso, melepas lelah.

kembalilah ke dalam rahim
segala tangis dan kebusukan
dalam sunyi yang meringis
tempat orang-orang mengikari
menahan ucapannya sendiri

Melalui filmnya, Yosep Anggi Noen mengajak penikmat filmnya berdialog dengan kesunyian. Tak seperti film pada umumnya, film ini minim dialog. Namun, walaupun dialog dalam film ini terbatas, film ini justru mampu menyampaikan banyak hal. Ketakutan, kesepian, rindu, juga kemarahan. Penyajian gambar dengan latar-latar gelap juga adegan-adegan bisu tanpa dialog memberi kesan sunyi yang teramat.  

perjalanan-wiji-thukul
Perjalanan Wiji Thukul

Gunawan Maryanto cukup mumpuni menampilkan sisi lain Wiji Thukul. Sisi tersembunyi yang tidak banyak diketahui masyarakat. Sisi sunyi seorang buron dalam pelariannya.

Film adalah Pengingat 

Tentu bukan tanpa asalan Yosep Anggi mengangkat kisah Thukul. Cerita yang ada di film yang diproduksi tahun 2017 ini masih sangat relevan dengan kondisi sekarang.Film ini kembali diputar TVRI dalam program Belajar dari Rumah Selasa, 16 Juni 2020. Sungguh waktu penanyangan yang tepat. Pasalnya, dalam pekan yang sama mencuat kasus Bintang Emon yang diserang netizen akibat video Enggak Sengaja  mendadak viral. Usaha membungkam Bintang digencarkan setelah komika ini mengkritisi tuntutan jaksa atas kasus Novel Bawesdan. 

Lebih dari 20 tahun sejak menghilangnya Thukul, nyatanya warga negara kita belum memiliki kedaulatan dalam berpendapat. Kemerdekaan hanyalah omong kosong yang digaungkan. Akhirnya, kisah Wiji Thukul dan film ini menjadi semacam pengingat bahwa  ada yang paling takuti oleh penguasa adalah kata-kata.

Film sebagai bagian dari sastra mempunyai kemandirian. Ia hadir dalam kebebasan makna. Sekalipun diangkat dari kisah nyata, film tidak dapat dijadikan sebagai acuan sumber sejarah. Inilah yang ingin dimanfaatkan Anggi. Ia lebih banyak menyuguhkan puisi-puisi Thukul untuk dintrepestasikan secara bebas. 

Di batas ini, Anggi  tak ingin mendikte penontonnya. Meskipun demikian, sedikit banyak tentu akhirnya kita paham rezim seperti apa yang dihadapi Thukul. 
Kemerdekaan adalah nasi
Dimakan jadi tai
Melalui puisinya, Thukul seakan mau menunjukan ke-badek¬-an rezim masa itu. Warga tak lagi punya kemerdekaan. Kemerdekaan menjadi makanan penguasa. Kemerdekaan tak ubahnya tai. Hal ini diperkuat dengan lagu Bunga dan Tembok, gubahan puisi dengan judul yang sama, yang dinyanyikan Fajar Merah, putra Wiji Tukhul. sebagai musik penutup.
Seumpama bunga
Kami adalah yang tak kau hendaki tumbuh
Seumpama bunga
Kami adalah yang tak kau hendaki adanya
Film ini ditutup secara misterius. Tak ada kepastian ke mana kepergian Thukul. Sepertinya halnya, menghilangnya ia secara tiba-tiba semenjak peristiwa 27 Juli 1998 silam. Namun, Istirahatlah Kata-Kata seolah menyiratkan kepergian Thukul bukan kepergian yang abadi. 

tidurlah, kata-kata
kita bangkit nanti
menghimpun tuntutan-tuntutan
yang miskin papa dan dihancurkan

nanti kita akan mengucapkan
bersama tindakan
bikin perhitungan

tak bisa lagi ditahan-tahan


Susana Devi Anggasari
Susana Devi Anggasari Hai, saya Susana Devi. Mamak dari Duo Mahajeng, Mahajeng Kirana dan Mahajeng Kanaya. Untuk menjalin kerja sama, silakan hubungi saya.