Benarkah Pembelajaran Daring di Masa Corona adalah Solusi yang Tepat?
Sejak ada imbauan untuk di rumah saja, otomatis kegiatan belajar dan mengajar pun dirumahkan. Guru dan siswa dituntut untuk dapat melaksanakan pembelajaran jarak jauh melalui sistem daring alias online. Hal ini tentu saja bukan perkara mudah.
Ketidaksiapan Sarana Prasarana
Tentu saja tidak dapat
diabaikan. Tidak semua siswa ataupun orang tua siswa mempunyai ponsel pintar.
Tidak semua daerah memiliki jaringan internet yang lancar. Tentu saja ini
benar-benar mengganggu.
Di kelas saya misal, saya
mempunyai kelas yang khusus saya gunakan untuk belajar Bahasa Indonesia. saya menamakannya Ruang
Bahasa. Tidak semua siswa dari lima kelas yang saya ajar bisa gabung di Ruang Bahasa.
Alasannya? Ia tidak mempunya ponsel. Apalagi yang bisa dilakukan selain maklum?
Toh saya juga tidak mungkin meminta ia memaksa orang tuanya membeli ponsel
bukan?
Ketidaksiapan Pendidik
Ini memang harus diakui. Saya
pribadi mengaku bahwa tidak semua pendidik siap melakukan pembelajaran dengan
metode ini. Jangankan melakukan pembelajaran online, bahkan menambahkan lampiran file untuk dikirim melaui Whatsapp atau email saja, mereka terkadang meminta bantuan.
Kita harus menyadari bahwa
tidak semua pendidik menguasai teknologi dengan baik, terlebih Bapak/ Ibu Guru
yang sudah sepuh. Bapak/ Ibu Guru yang sudah sepuh ini umumnya seusia bapak dan ibu saya. Paling banter, Bapak dan Ibu memanfaatkan ponselnya hanya untuk video call-an sama cucunya. Di sekolah
saya mengajar, ada beberapa yang dulunya menjadi guru sekarang
menjadi rekan kerja. Secara pembelajaran beliau-beliau tentu saja tak
perlu diragukan lagi. Matang. Sudah puluhan tahun beliau-beliau mengajar. Namun untuk teknologi, tentu kita tidak bisa
menyetarakan mereka dengan kita.
Jadi, seandainya masih banyak
yang belum siap akan sistem pembelajaran daring ini ya jangan saling
menyalahkan. Kita butuh solusi. Saling menyalahkan tentu saja tudak menyelesaikan, hanya menambah
masalah.
Mindset Belajar yang Salah
Seminggu awal masa belajar di
rumah, banyak siswa maupun orang tua protes. Mereka tidak sanggup dengan beban
tugas yang terlampau banyak, katanya. Salah siapa? Ya, kita semua turut andil
membuat kesalahan. Siswa, orang tua, bahkan guru pun melakukan kesalahan.
Siswa
Tahu slogan the power of kepepet? Nah, rata-rata
para siswa menerapkan slogan ini untuk menyelesaikan tugas mereka. Tugas
diberikan Senin, dikerjakan Sabtu. Tugas diberikan Selasa, dikerjakan Sabtu.
Begitu sudah tenggat ditagih, baru kalang kabut. Lha memang, tidak semua. Tapi
kebanyakan (red: siswa saya banyak yang begitu).
Orang Tua
Orang tua diminta menggantikan
guru mendampingi anaknya belajar di rumah. Yang namanya mendampingi, ya hanya
jadi pendamping. Tugasnya, memastikan anak mengerjakan tugas yang diberikan
guru dari sekolah. Eh, banyak yang salah kaprah. Orang tua berlomba-lomba
menyelesaikan tugas anak-anaknya. Iya kalau di rumah hanya ada satu anak. Kalau
lima?
Guru
Pembelajaran online diartikan
hanya memberikan tugas melalui media online.
Sebenarnya tugas tidak banyak, masing-masing guru rata-rata hanya
memberi satu tugas dalam satu minggu. Masalahnya adalah jumlah guru tidak
hanya satu. Masing-masing guru jyga dituntut tetap memberikan pembelajaran.
Lalu, apakah guru juga salah
dalam memberikan tugas. Udah tahu di tengah pandemi Corona begini, kok ya
tugasnya sulit-sulit. Nyari di Google enggak nemu.
Lah, mau bagaimana lagi. Kami
di sekolah mempunyai target capaian kurikulum. Materi apa saja yang harus
diajarkan dan harus selesai kapan. Masa libur yang dadakan tentu membuat banyak
guru belum tahu mau dibawa ke mana pembelajaran secara daring ini. Yang
penting: berusaha menyelesaikan materi dulu. Untungnya, materi saya sudah
selesai karena saya kebetulan mengajar kelas sembilan, makanya tugas yang saya
berikan pun lebih fleksibel dan bisa dikaitkan dengan kehidupan nyata. Tapi
kan, enggak semua bisa disamakan kondisinya.
Beruntung, Mendikbud tanggap.
Surat edaran dari Mas Menteri tertanggal 24 Maret 2020 ini setidaknya membawa
angin segar bagi kami para pendidik. Pembelajaran dirancang
untuk mendorong aktivitas yang bermakna
dan tidak perlu memikirkan ketuntasan capaian kurikulum secara menyeluruh. Sejak ada imbauan ini, guru lebih fleksibel
dalam memberikan tugas tentunya. Saya sendiri
secara pribadi justru ingin sekali selama belajar di rumah, anak-anak saya
mendekatkan diri dengan keluarga mereka. Belajar lebih banyak mengenai segala sesuatu yang tak bisa diajarkan di sekolah. Mencari tahu minat dan bakat mereka.
Pekan keempat ini saja, saya hanya
meminta siswa membantu orang tua mereka. Lalu menceritakan hikmah apa yang
mereka dapatkan selama belajar di rumah. “Gara-gara Corona Aku Bisa …” begitu
tema besarnya. Mereka boleh melihat dari sudut pandang manapun. Jadi deh mereka
bisa membuat cerita inspiratif. Walaupun sederhana. Materi tercapai. Pembelajaran jadi berarti karena diterapkan dalam kehidupan nyata.
Mendidik Anak Tanggung Jawab Orang Tua, Bukan Hanya Guru
Ada beberapa orang, beberapa
saja sih, yang mengatakan: Enak ya jadi guru. Siswa diliburkan, ia bisa ongkang
kaki. Makan gaji buta.
Haduh, rasanya pengen nguleg cabai sekilo , terus bekas ulekannya saya gunakan buat nguleg mulut orang yang ngomong begitu. Lah, kok anarkis?
Habisnya! Saya pribadi kalau disuruh milih pembelajaran tatap muka apa daring, saya milih tatap muka.
Pembelajaran daring tuh berat
oey, berat! Mengkondisikan banyak murid dalam sebuah ruangan maya itu enggak
mudah, Jo Paijo!
Giliran lagi diskusi, sepi bak
kuburan. Kalau bahas sesuatu yang OOT justru ramai kaya pasar malem. Kalau
begini mah, Ndang balio Sri … ndang balio
sekolah!
Itu soal siswa. Belum lagi soal tagihan-tagihan yang harus dilaporkan. Siswa didiemin salah. Giliran ngasih tugas diprotes. Terus gimana dong?
Ya sudahlah, wong ini pekerjaan yang saya pilih. Saya enggak mau ngeluh terlalu
panjang. Intinya: kami, para guru, tidak
lantas bebas dari tanggung jawab. Benar siswa seharusnya adalah tanggung jawab
kami (di sekolah). Namun, saat di rumah ya kami kembalikan pada orang tua. Mari kita bergantian.
Bukankah tanggung jawab
mendidik yang utama ada pada orang tua. Kami yang di lembaga pendidikan ini hanya mitra. Jadi,
sementara belajar di rumah, orang tua dapat memaksimalkan perannya sebagai
sekolah utama bagi putra-putrinya.
Saya kadang heran ketika banyak
orang tua yang mengeluh kesulitan mengasuh anak-anak mereka. Paling
rata-rata hanya dua anak saja, kami tiap hari dituntut untuk bisa merangkul
ratusan siswa. Orang tua ngasuh anak sendiri mah enak. Marah ya tinggal marah. Lha guru? salah sedikit saja kenal pasal.
Jadi, ayolah! Soal pendidikan
buka hanya tugas satu pihak saja. Keberhasilan generasi muda ada di pundak orang
tua juga guru. Mari berjalan beriringan dan bergandeng tangan.
Mari sama-sama saling memberi
saran dan masukan, tapi jangan saling menghujat. Demi anak-anak kita lebih baik, kita
perlu saling menguatkan.
1 komentar untuk "Benarkah Pembelajaran Daring di Masa Corona adalah Solusi yang Tepat?"
Sugeng rawuh di susanadevi.com. Silakan tinggalkan jejak di sini. Semua jejak yang mengandung "kotoran" tidak akan ditampilkan ya!