Benarkah Sekolah Itu Penting? Untuk Apa Sebenarnya Sekolah?
Berbicara soal sekolah, ada hal penting yang ingin saya sampaikan. Hampir setengah dari usia saya sekarang habis hanya untuk mengenyam pendidikan. Nyatanya, pendidikan yang sebenarnya justru baru saya rasakan ketika saya tidak lagi bersekolah. Adakah yang bernasib sama?
Sekolah Hanya Mencekoki Siswa dengan Teori
Untuk masalah akademis, saya termasuk cukuplah. Namun, hal itu ternyata tidak menjamin bahwa saya memiliki bekal yang cukup di dunia kerja. Saya pernah dibuat malu ketika melamar pekerjaan jadi pengajar di salah satu bimbingan belajar ternama waktu itu.
Ilustrasi |
Masalahnya sederhana. Penguji saya memberi beberapa pertanyaan, saya hanya diminta menjawab itu fakta atau opini. Semua jawaban saya tepat. Tapi, ketika penguji menanyakan alasannya, saya diam. Mulut terkunci. Entah karena grogi, entah karena tidak tahu.
Ini poinnya! Sebuah kesalahan turun-menurun. Di dunia pendidikan, siswa hanya dicekoki mana yang benar dan mana yang salah. Siswa tidak diajak mempertanyakan kebenarannya. Mengapa bisa begini? Kenapa harus seperti ini? Kok bisa kaya gini?
Saya lulusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. IPK 3,52. Dengan pujian. IPK segitu pada masa itu sudah lumayan. Teman yang saya ketahui cukup serius dan rajin saja IPK-nya tak jauh selisihnya. Untuk pendidikan yang saya tempuh ala kadarnya, keberuntungan saya cukup tinggi. Namun, apalah arti semua itu. Tak berguna.
Setelah mendapat gelar sarjana, saya justru merasa bodoh. Begitu banyak hal yang ternyata tidak saya ketahui.
Saya cukup bersyukur bahwa kejadian memalukan ketika melamar kerja itu rupanya tak membuat HRD menolak saya. Cukup saya akui bahwa bimbel itu yang akhirnya mendidik saya sebagai pengajar yang sesungguhnya. Saya tidak akan dilepas sebelum saya menguasai materi yang akan saya ajarkan, begitu kata senior saya waktu itu.
Alhasil, setiap malam saya membaca Tata Bahasa Baku, Modul, dan Ejaan yang Disempurnakan (red: waktu itu belum PUEBI). Buku-buku itu layaknya kitab yang senantiasa ada di dekat kepala saya.
Untuk Kawan Suzan tahu saja, buku Tata Bahasa Baku Indonesia itu saya beli ketika saya semester 2 dan masih mulus hingga saya lulus kuliah. Selang saya diterima di bimbel dengan logo gajah itu, tidak ada satu minggu buku itu menjadi kusut dan lepas jilidannya. Tapi, justru di sinilah saya belajar. Di bimbel ini saya ditempa untuk menguasai materi.
Skill mengajar terasah dari mengajar di salah satu SMK Negeri di Semarang, materi nglothok gara-gara ngajar di bimbel. Sayangnya, saya akui saya hanya cakap secara teori. Yups! Secara teori. Lha wong nyatanya, materi yang saya pakai hanya digunakan untuk mengerjakan ujian nasional. Jangan salah, di masa itu ujian nasional masih sangat bergengsi.
Masalah selanjutnya muncul ketika saya memutuskan kembali ke rumah. Saya tidak lagi mengajar di bimbel maupun di sekolah. Saya resign ketika hamil Kirana, tujuh bulan usia kandungannya waktu.
Masa-masa itu adalah masa pencarian saya yang sesungguhnya. Masa saya mencari apa yang bisa membuat saya bahagia. Hingga akhirnya bertemu lah saya dengan berbagai komunitas menulis online.
Nah, di sinilah masalahnya. Saya dididik kampus saya untuk menjadi Guru Bahasa Indonesia. Namun, saya tidak pernah dekat dengan dunia tulis-menulis. Penggunaan huruf kapital, tanda koma, atau penulisan huruf hanya saya ketahui secara teori. Ketika menjawab soal ujian yang menanyakan ejaan, saya bisa jamin nilai saya tinggi. Namun, tidak begitu ketika saya disuruh menulis sesuai ejaan. Amburadul.
Saya sampai tidak berani mengungkapkan jati diri saya bahwa saya lulusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Saya kasihan dengan kampus yang meluluskan saya. Bagaimana bisa mahasiswa lulusan dengan predikat “Dengan Pujian”, tidak bisa menulis dengan baik.
Sekali lagi, di fase ini saya kembali diberi kesempatan untuk belajar (dengan sungguh-sungguh). Diktat dan modul-modul kuliah saya baca justru ketika saya TIDAK (lagi) kuliah.
Kepercayaan diri saya mulai tumbuh ketika tulisan-tulisan yang saya bagi di media sosial disukai bahkan di-share orang lain. Lalu, saya seperti kecanduan menulis. Tapi, kala itu tulisan yang saya buat seolah hanya obat dahaga saya akan like dan pujian orang lain. Lama-lama, hal itu tentu saja melelahkan.
Hingga akhirnya saya memutuskan hijrah. Saya mulai menulis di sini. Biarlah, apa yang saya tulis dibaca oleh orang yang benar-benar mau membaca tulisan saya. Mereka-mereka yang menyempatkan waktu main ke rumah virtual saya. Sesekali saya masih menulis di facebook. Namun, sudah sangat jarang.
Dari perjalanan yang amat panjang ini, saya akhirnya tahu bahwa saya suka menulis. Saya disadarkan akan simpul-simpul takdir yang dirancang Tuhan. Awalnya, saya merasa salah jalan kuliah di jurusan yang tidak saya inginkan. Ternyata, banyak peluang mendapatkan uang dari jurusan yang saya anggap salah ini.
Saat Saya (Kembali) Mengajar
Setahun yang lalu, 4 April 2019, saya kembali mengajar. Setelah sekian tahun hanya berdiam diri di rumah, saya akhirnya kembali mengenakan seragam. Kalau mau tahu cerita saya kembali mengajar, Kawan Suzan bisa baca kisah saya menjadi PNS.
Dua fase hidup yang saya syukuri adalah masa saya mengajar di bimbel dan masa saya resign dan memutuskan menjadi ibu rumahan. Dua masa ini yang akhirnya menjadikan saya seperti sekarang. Pada dua masa ini, saya justru belajar banyak hal.
PR utama saya ketika mengajar adalah bukan bagaimana caranya anak-anak bisa mengerjakan latihan soal. Namun, bagaimana caranya mereka bisa memanfaatkan apa yang telah dipelajari di sekolah untuk kehidupan mereka.
Selalu saya bilang pada mereka, kalian tak perlu hafal apa struktur dan kaidah bahasa cerpen. Kalian hanya perlu bisa membuat cerpen yang bisa membuat kalian bertahan hidup.
Pendidikan kita sudah terlalu banyak mencetak manusia yang pandai secara teori, tapi nol dalam praktik. Saya contohnya. Dan saya tidak mau, siswa-siswa saya merasakan apa yang saya rasakan.
Jadi,
Jika di antara Kawan Suzan ada yang menjadi guru, mari kita tunjukan manfaat langsung dengan apa yang mereka pelajari di sekolah. Jangan sampai mereka hanya tahu bahwa 30% dari 100 adalah 30. Namun, tak cakap menghitung harga jual. Pendidikan yang sesungguhnya adalah pendidikan yang memiliki makna ketika siswa tidak lagi di sekolah.
Posting Komentar untuk "Benarkah Sekolah Itu Penting? Untuk Apa Sebenarnya Sekolah?"
Posting Komentar
Sugeng rawuh di susanadevi.com. Silakan tinggalkan jejak di sini. Semua jejak yang mengandung "kotoran" tidak akan ditampilkan ya!